Laman

Kamis, 06 Desember 2012

Hey, I Just Michu


Emirates Stadium, 1 Desember 2012. Pertandingan  antara Arsenal dan Swansea sudah hampir memasuki masa purna, tapi papan skor menunjukan kedudukan masih dalam skor kacamata. Tuan rumah yang sedang dalam posisi tak mengenakkan, hanya memenangi tiga dari sembilan laga kandang, sangat membutuhkan kemenangan supaya kegeraman dan kekecewaan dari para suporter yang sudah hampir mendekati ambang batas, bisa mereda sesaat. Mereka tahu kalau hasil imbang, apalagi kekalahan, bukanlah opsi yang bisa dipertimbangkan. Meraih kemenangan adalah sebuah harga mati.

Tapi hal itu tak pernah kejadian. Memasuki menit ke 88', seorang pemain bertubuh besar menerima umpan Chico Flores dari sisi kanan. Meski first touch-nya saat itu kurang begitu sempurna, ia masih sempat memaksakan kerjasama satu-dua dengan Luke Moore yang masuk dari flank kiri. Bola terobosan Moore, yang membelah kerumunan defender The Gunners, kemudian dilengkungkan oleh sang pemain ke tiang jauh. Wojciech Szczesny, yang sepanjang pertandingan tampil impresif, sudah kadung maju pasang badan dan tak bisa berbuat banyak kecuali melihat si kulit bundar melesak ke jala gawangnya. Swansea unggul 1-0, dan berhasil membikin Arsene Wenger yang sejak awal pertandingan mencoba untuk terlihat cool, langsung beranjak dari dugout dengan wajah masygul untuk meneriaki anak buahnya.

Tapi mimpi buruk Arsenal rupanya belum berakhir sampai di situ. Di menit-menit akhir injury time, pemain yang sama kembali membobol gawang Arsenal. Kali ini setelah Carl Jenkinson, yang kelihatannya terlalu lentur untuk ukuran pemain sepakbola, terjatuh dengan tidak gagah setelah "dirampok" oleh tekel Nathan Dyer. Berhadapan one-on-one dengan Szczesny, si pemain tidak kesulitan untuk membuat Arsene Wenger kembali garuk-garuk kepala atas performa lini belakangnya yang lebih mudah ditembus daripada saringan tahu.

Dengan dua golnya malam itu, si pemain lantas menahbiskan dirinya sebagai top skorer sementara Premier League dengan torehan 10 gol, sejajar dengan bomber tenar macam Robin van Persie dan Luis Suarez. Ya, kita memang sedang membicarakan seorang Miguel Perez Cuesta, atau yang lebih beken dengan nickname-nya yang sedikit bernuansa imut itu : Michu.

Mulanya tak banyak yang mengenal gelandang serang kelahiran Oviedo 26 tahun lalu ini. Bahkan meski musim lalu dirinya mencetak 15 gol di kancah Liga Spanyol, paling subur di La Liga untuk ukuran pemain tengah — unggul jauh dibanding gelandang mentereng lain macam Mesut Ozil, Santi Cazorla dan Cesc Fabregas. Bahkan juga, ketika tim-tim besar sekelas Manchester United dan Liverpool sempat dirumorkan tertarik untuk merekrutnya, kita semua tak pernah menganggap terlalu serius eksistensi seorang Michu. Baru ketika Premier League mulai menyibak tirai kompetisinya lah, orang-orang mulai aware terhadap Michu.

Menghadapi Queens Park Rangers di partai debutnya 18 Agustus silam, Michu langsung mengemas dua gol dan satu assist untuk mengantar Swansea menghancurkan QPR dengan skor mencolok 0 - 5. Dan orang-orang yang selama ini hanya menyaksikan siaran Liga Spanyol ketika laga El Classico mentas, dibuat serempak memekik heran "Miguel who? what Michu? " ketika diberitahu kalau orang yang namanya tercatat dua kali di scoresheet malam itu sebelumnya merumput di La Liga.

"My debut in the Premier League was incredible," kenang Michu, "It will be hard to score two goals in every game but I promise the fans, I will give my best in every game."

Dan Michu menjawabnya dengan gol-gol dan konsistensi.

Total sepuluh gol yang telah dicetaknya dari 15 pertandingan bersama Swansea membawanya jadi salah satu predator yang paling ditakuti di kotak penalti. Statistik selalu membuat satu gol dari tiap empat tembakan juga membaptis dirinya jadi salah satu pembikin gol yang paling efektif di EPL, terimakasih untuk taktik brilian bikinan seorang Michael Laudrup.

Dalam strategi Laudrup, Michu memang memiliki porsi krusial karena diposisikan sebagai sebagai second striker, dengan role sebagai seorang inside forward. Pada skema terapan milik Swansea ini, yang sangat mengandalkan possesion football dan pergerakan pemain yang sangat fluid di segala lini, Michu punya lisensi untuk bergerak ke segala arah guna membuka ruang, memainkan link-up play dari lini tengah ke depan, juga mengeksekusi peluang lewat pergerakannya yang kerap datang dari blind side. Dan Michu sejauh ini sukses mengaplikasikan instruksi dari Laudrup dengan sangat baik.

Pergerakannya yang efektif di belakang lone striker Swansea —diisi secara bergantian oleh Danny Graham dan Itay Schechter— membuatnya kerap memperoleh ruang tembak dan momentum yang tepat untuk mencetak gol. Dengan torehan golnya yang sudah mencapai dua digit, berbanding sebiji gol milik Graham dan nihil milik Schechter, trkadang malah membuat dua orang striker utama The Swans itu lebih terlihat sebagai false nine ketimbang pemain yang berposisi sebagai target man.

"He gives us a lot. When we have the ball he is a second striker; when the opposition have the ball he is the third midfielder. It's a very important position for us," kata Laudrup mengamini.

Postur Michu yang tergolong bongsor, juga adalah blessing in disguise bagi Swansea yang membutuhkan keping puzzle pelengkap saat strategi passing dari kaki ke kaki yang mereka bangun membutuhkan seorang pemantul atau pengeksekusi bola-bola atas di area final third. Empat gol hasil sundulan kepala dan empat gol yang dibikin dari situasi coming from behind, menjadi bukti empiris bagaimana simbiosis mutualisme yang terjadi antara strategi yang diterapkan Swansea terhadap performa Michu di lapangan.

"He's not the quickest player but he's got great technique and a great touch in front of goal. He can score with his head, both feet, and you saw how he works hard (for the team)." komentar Michael Vorm, kiper Swansea, soal kinerja kompatriotnya asal Spanyol itu dalam sebuah wawancara.

Michu memang sebuah fenomena. Apalagi saat khalayak mulai mengetahui kalau price tag yang ditebus Swansea untuk membajaknya dari Rayo Vallecano "cuma" sebesar dua juta pounds. Anda jangan dulu bosan kalau soal nilai transfer ini, lagi-lagi Michu harus dikomparasi dengan seorang, yah siapa lagi, Fernando Torres. Nilai transfer 50 juta pounds milik Torres —senilai dengan harga 25 orang Michu— saat Chelsea membelinya dari Liverpool, memang sebuah kebijakan finansial yang bakal membuat Basuki "Ahok" Purnama  marah-marah dan memangkas anggaran transfer Chelsea sampai dengan 25%, andai Wakil Gubernur DKI Jakarta itu bekerja di sana.

"It's not about his price." kata Laudrup, "What would a player who scored 15 goals playing in the Premier League as an offensive midfielder cost? I think it would be maybe double, treble or even four times what we paid for Michu."

Ketika ditanya soal harganya yang terkesan underrated itu, Michu malah berkisah soal kondisi klubnya yang pada waktu itu tengah sekarat. Rayo Vallecano, klub Michu sebelumnya, memang tengah dilanda krisis keuangan hebat. Krisis keuangan yang melanda sebagian besar negara-negara di Eropa memang tak pilih-pilih dalam memangsa korban. Tak terkecuali dengan Spanyol, yang mayoritas klub-klub sepakbolanya terjerat permasalahan finansial. Dan Rayo, yang cuma sebuah klub gurem dengan prestasi minim, jelas ikut terbelit dalam pusaran krisis tersebut.

Saking akutnya masalah finansial yang mendera mantan klubnya itu, Michu ingat pernah suatu kali Rayo yang harus bertandang ke markas Real Sociedad, terpaksa menempuh perjalanan melalui jalan konvensional selama lima jam, karena tak mempunyai biaya untuk membayar tarif jalan tol. Karenanya, menurut Michu, nilai transfernya yang "cuma" sebesar dua juta pounds itu, sudah termasuk jumlah yang "wah" dan akan sangat berarti bagi keuangan klub kecil seperti Rayo.

"I went on a free to Rayo. Also there are a lot of crises in Spain. Rayo's economy is catastrophic. I can tell you that £2m is very good for them. It's like a wow for them."

Michu juga, adalah pribadi yang loyal terhadap klub yang dicintainya, terutama terhadap klub kota kelahirannya : Real Oviedo. Pernah suatu ketika di Tahun 2010 Sporting Gijon datang untuk merekrut Michu dengan menawarinya kontrak jangka panjang dan nilai kontrak yang berlipat-lipat jumlahnya dari yang didapatnya di Oviedo saat itu. Hanya karena Gijon adalah seteru abadi dari Oviedo lah, Michu kemudian menolak tawaran menggiurkan tersebut.

"I could have signed a five-year contract and had more money, but I'm from Oviedo and Sporting is our rival, so I can't play at Sporting," katanya. "I know it's unusual, but Oviedo is my team. Whether they are in the third, second or first division, that never changes."

Belakangan Michu, dan juga Santi Cazorla serta Juan Mata, juga diketahui melakukan aksi galang dana dan ikut membeli sebagian saham kepemilikan dari Real Oviedo guna mencegah klub tempatnya pertama kali bermain sepakbola itu mengalami kebangkrutan dan harus dibubarkan. Sebuah tindakan dan attitude yang kian membikin nilai transfernya yang cuma dua juta pounds benar-benar keterlaluan murahnya (are you watching, Roman? Sheikh Manshour?)

Musim memang baru berjalan kurang dari separuhnya, tapi rasa-rasanya kita sudah selayaknya sepakat untuk menganugerahi Michu dengan predikat transfer terbaik musim ini. Nilai transfernya yang teramat underrated, plus instant impact yang langsung diberikannya buat Swansea, pantas membuatnya berada pada garda terdepan dalam perebutan gelar signing of the season. Atau, mungkinkah ada peluang bagi Michu untuk menyabet gelar-gelar individual lainnya di musim ini, seperti top skorer atau best player misalnya?

Well, he just Michu. And you know this is crazy.

Minggu, 02 Desember 2012

Sebuah Akhir, Yang (Sebenarnya) Kita Sudah Tahu Akan Seperti Apa


Salah satu hal paling menyebalkan saat menonton sebuah pertandingan sepakbola adalah ketika tim jagoan anda sedang ketinggalan, butuh gol, tapi pemain lawan malah mengulur-ulur waktu dengan cara yang paling klasik: pura-pura kesakitan saban terjadi kontak fisik dengan lawannya. Kalau ada hal yang lebih menyebalkan dari itu, tentu saja adalah jika tim yang anda dukung kemudian kalah dan tersingkir dari sebuah kompetisi. 

Well, kemarin malam kita mendapatkan keduanya.

Timnas Indonesia yang sejatinya cuma butuh hasil seri untuk lolos dari fase grup Piala AFF akhirnya memenuhi takdirnya sebagai non-unggulan dengan mengepak koper lebih cepat setelah dikalahkan Malaysia 2-0. Dua gol yang dibikin Azimuddin Mohd Akil dan Mahalli Jazuli gagal dibalas oleh Indonesia sampai wasit meniupkan peluit panjang. Sebuah hasil yang membuat Indonesia harus puas duduk di posisi ketiga grup B dibawah Malaysia dan Singapura, yang disaat bersamaan berhasil mencukur Laos 4-2. Sebuah hasil yang membuat timnas menapaktilasi pencapaian di tahun 2007, yang juga cuma nyaris lolos dari fase grup.

Berulang kali kegagalan dan segala momen yang serba nyaris —nyaris juara, nyaris mengalahkan tim besar, nyaris lolos dari fase grup, dan juga nyaris-nyaris lainnya— tiap menyaksikan timnas bertanding membuat kita merasa seperti dikutuk oleh Tuhan karena tak kunjung bisa melihat timnas meraih prestasi. Saya lalu ingat pernah membaca tulisan dari mas @zenrs yang menyebutkan kalau nasib kita tak ubahnya Sisifus dalam mitologi Yunani.

Dalam kisahnya, Sisifus diriwayatkan sebagai manusia yang dikutuk oleh Zeus akibat ulah kurang ajarnya menyekap Thanatos, Dewa Kematian, yang menyebabkan manusia di muka bumi tidak bisa mati, serta melarikan diri dari masa hukumannya di penjara Tartarus setelah mengakali Hades dan Persephone dengan muslihat untuk kembali ke dunia manusia. Zeus yang sangat marah kepadanya kemudian mengutuknya dengan membuat Sisifus "sibuk" mendorong batu besar dari kaki hingga ke puncak Gunung Olympus. Ketika batu yang didorong Sisifus hampir sampai ke puncak, batu itu dijatuhkan lagi ke bawah, dan Sisifus harus mengulang lagi mendorong batu tersebut dari bawah. Dan ketika batu itu hendak sampai di puncak lagi, batu itu dijatuhkan lagi. Begitu seterusnya, selama-lamanya.

Timnas pun demikian. Kita punya siklus yang sangat mirip dengan kutukan Sisifus. Mulanya tak begitu yakin bisa sampai di puncak, kemudian optimisme muncul sedikit, dan seiring berjalannya perjalanan "mendorong batu", optimisme makin naik. Puja-puji mulai mengalir, berita tentang timnas merebak di mana-mana, pemain timnas mendadak jadi selebriti dan bintang iklan sosis siap makan, terus begitu, dan ketika hampir tiba di puncak kita jatuh lagi menggelinding ke bawah dengan keadaan babak belur, untuk kemudian dihujat lagi karena dianggap tak becus bermain bola. Terus begitu, entah sampai kapan.

Lihatlah bagaimana sepak terjang timnas di Piala AFF tahun ini. Diawali dengan macam-macam kisruh dualisme dan tarik menarik kekuasaan antara KPSI dengan PSSI, kemudian berlanjut dengan tak diperbolehkannya pemain-pemain yang merumput di ISL untuk memperkuat timnas oleh klubnya, ditambah dengan kasus Diego Michiels jelang bergulirnya Piala AFF, Indonesia memulai pejuangannya menggelindingkan batu ke Gunung Olympus dengan persiapan minimalis plus kekuatan yang boleh dibilang ala kadarnya. Wajar jika kemudian pesimisme yang mengepul terasa lebih hebat daripada biasanya.

Partai perdana menghadapi Laos seolah jadi pembenaran kalau kita memang tak akan jadi apa-apa di turnamen dua tahunan kali ini. Laos yang secara historis hampir selalu kita gunduli dengan skor besar, berhasil memaksakan skor imbang 2-2. Kalaupun ada sedikit asa dari pertandingan tersebut, itu adalah mental pantang menyerah dari para pemain yang tetap ngotot bermain mencari gol meski sempat dua kali tertinggal oleh gol-gol Laos.

Pertandingan berikutnya menghadapi Singapura, awan pesimisme masih berhamburan. Singapura di pertandingan sebelumnya berhasil menggasak tuan rumah Malaysia, yang juga berstatus sebagai juara incumbent, dengan skor besar 3-0. Sementara itu, kita cuma bisa imbang dengan Laos. Wajar kalau kita semakin tak diunggulkan, bahkan diprediksi bakal kalah dengan skor besar.

Tapi yang terjadi di lapangan kemudian adalah antitesis. Timnas bermain sangat rapih dan disiplin. Lapangan tengah menguasai bola dengan baik, plus menjalankan tugasnya sebagai tembok pelapis pertahanan. Taufiq dan Vendry Mofu yang dipasang sebagai double pivot, plus Irfan Bachdim yang kerap trackback ke daerah pertahanan, jadi kunci Indonesia dalam menahan gempuran Singapura malam itu. Sampai dengan turun minum, gawang timnas masih belum kebobolan. Asa kembali muncul. Satu poin sepertinya tak akan lari kemana-mana jika timnas terus bermain seperti itu di babak kedua.

Saat Irwan Shah mendapat kartu kuning kedua di menit 66', kita semua tahu ada keyakinan yang mulai muncul kalau-kalau Indonesia bisa mencuri satu gol untuk kemudian mengamankan raihan 3 poin. Dan Tuhan, yang malam itu sedang memiliki selera humor yang bagus, mengabulkannya. Set piece Andik Vermansyah, yang kita tak tahu dimaksudkan untuk mengirim umpan lambung atau melakukan tembakan parabola jarak jauh, melesak masuk ke sudut gawang Singapura. Gol, dan skor 1-0 itu tetap bertahan sampai akhir pertandingan.

Indonesia berhasil mencabut rekor tak pernah menang dari Singapura dalam tujuh pertandingan terakhir (enam kalah, sekali imbang) dengan skuat yang justru ala kadarnya. Kontan, harapan mulai membumbung. Andik dkk mulai ramai masuk pemberitaan media. Infotainment yang mungkin sudah bosan memberitakan kehidupan Nassar-Muzdalifah, kembali ikut-ikutan memberi lampu sorot terhadap kinerja timnas. Dan meski kini belum ada lagi iklan sosis siap makan yang memajang pemain-pemain timnas sebagai model iklannya, kita tahu optimisme mulai mengepul di dada masyarakat. Target lolos dari fase grup tinggal beberapa jengkal di depan mata setelah Indonesia hanya membutuhkan hasil imbang kala bersua tuan rumah Malaysia untuk melaju ke babak selanjutnya. Kalau rekor tak pernah menang dari Singapura saja bisa kita putus, siapa yang tak tergoda untuk berharap kalau timnas setidaknya mampu menahan imbang Malaysia?

Orang bilang harapan adalah akar dari segala kekecewaan, dan kita tahu itu. Akan tetapi, pada akhirnya kita selalu kembali tergoda untuk berharap ketika menyangkut prestasi timnas, meskipun kita juga sudah tahu ada kemungkinan yang teramat besar untuk dikecewakan. Dan benar saja, tadi malam, kita kembali dikecewakan oleh timnas. Timnas lagi-lagi menjatuhkan batu harapan yang sudah didorong dengan susah payah, bahkan kali ini sebelum mencapai setengah perjalanannya ke puncak.

Skenario kembali terulang. Skenario yang terus terjadi selama 22 tahun lamanya. Skenario yang sebenarnya kita sudah tahu akan berakhir seperti apa. Sebab, dengan persiapan yang optimal dan turun dengan talenta-talenta terbaik negeri ini saja, selama ini kita tak juga bisa meraih prestasi, apalagi dengan tahun ini yang dipenuhi konflik perselisihan kekuasaan antara PSSI dan KPSI, plus cuma bermodal persiapan ala kadarnya dan keterbatasan talenta pemain yang bisa dipanggil. Kita semua sebenarnya sudah tahu, cepat atau lambat, pada akhirnya kegagalan Indonesia di Piala AFF tahun ini memang bakal kejadian.

Pada akhirnya, kita kembali cuma bisa mengutuki nasib dan juga orang-orang yang berada dibalik kepengurusan PSSI (dan juga KPSI) akibat tingkah polah mereka yang tak kunjung becus mengurus sepakbola dalam negeri. Kita juga, lagi-lagi, cuma bisa membayangkan saat dimana timnas mampu bergelimang prestasi dan kita akhirnya lepas dari kutukan Sisifus yang sudah berjalan 22 tahun lamanya.

Kini, sembari menunggu saat itu terjadi, dimana menonton timnas bertanding dan berharap mereka meraih kemenangan bukan lagi sekedar sado-masokisme, mari persiapkan tangan dan kaki kita untuk sekali lagi menjalani rutinitas Sisifus-esque dengan mencoba kembali mendorong batu besar yang berat ini. Tapi kali ini bukan untuk digelindingkan ke puncak Gunung Olympus, melainkan digelindingkan ke kantor para pengurus PSSI dan KPSI. Supaya mereka-mereka yang rakus akan kekuasaan itu remuk tergilas batu besar. Supaya tidak ada lagi kepengurusan asal-asalan dan penuh intrik di sepakbola kita. Supaya sepakbola Indonesia bisa memulai awal langkah pembaharuan menuju yang ke arah yang lebih baik.

Bung, ayo Bung!

Kamis, 15 November 2012

Menanti Reuni Bambang - Ellie



Dalam segala hal, manusia memang telah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan. Dan kadang-kadang, karena keberadaan pasangan lah, seseorang akhirnya mampu mengeluarkan potensi terbaik yang ada di dalam dirinya.

Sid Vicious mungkin tak akan sesableng seperti yang kita kenal sekarang andai ia tak pernah mengenal Nancy Spungen. Alan Budikusuma dan Susi Susanti juga saling tahu, bahwa mereka tak jadi raja dan ratu dunia tepok bulu melulu karena bakat yang mereka miliki, tetapi juga berkat dukungan yang berjalan timbal balik antar keduanya.

Sepakbola pun demikian. Meski dalam koridor yang agak berbeda, kancah lapangan hijau selalu memiliki kisah unik tentang pasangan-pasangan yang menjadi protagonis dalam melodrama bernama sepakbola.

Bagi yang besar di era 90-an tentu tak asing lagi dengan hikayat mengenai duet maut Alessandro Del Piero dan Pippo Inzaghi di garda depan penyerangan Juventus yang kesohor dengan julukan Del-Pippo. Begitu pun dengan fans Manchester United yang tak akan pernah lupa dengan kebesaran tandem Andy Cole - Dwight Yorke ketika mengantar tim mereka menyabet treble di musim 1998/1999. Dan jika kita menilik ke negeri sendiri, sepertinya tidak ada sosok lain yang layak disebut sebagai "pasangan emas" selain tandem sehati antara Bambang Pamungkas dengan Ellie Aiboy.

Bepe mungkin tak akan pernah dikenal sebagai pemain lokal dengan kemampuan finishing kepala paling mematikan andai ia tak menerima crossing-crosing memanjakan dari seorang Ellie. Pun begitu dengan Ellie yang mungkin saja hanya akan menjadi pemain dengan crossing anti gravitasi seperti Bebe (yeah, that Bebe) jika ia tak bertemu pemain seperti Bambang yang selalu siap sedia menadah umpan menyilangnya dengan lompatan vertikal plus heading akurat. Singkat kata, keduanya adalah senyawa yang saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.

Meski cuma menjalani kebersamaan selama lima musim (2002 - 2006), keharmonisan dan saling pengertian antar keduanya jauh lebih baik daripada hubungan Raffi Ahmad dan Yuni Shara yang putus nyambung tak jelas rimbanya itu. Dalam lima musim tersebut, tak terhitung berapa banyak kombinasi yang dibentuk keduanya demi mengoyak jala lawan.

Persija Jakarta, Timnas Indonesia, dan Selangor FC adalah tim-tim yang pernah merasakan tuah emas dari pasangan ini. Gol demi gol, assist demi assist rajin ditorehkan oleh Bepe - Ellie bagi tim-tim tersebut. Tapi meskipun demikian, di Selangor FC lah keduanya menemukan masa kejayaan.

Bermula dari kepindahan Bepe ke Selangor pada tahun 2005, Ellie yang waktu itu niatnya hanya mengantar kepergian sahabat karibnya, malah ditawari trial oleh manajemen Selangor. Dasar jodoh, Ellie pun dianggap mumpuni dan akhirnya dikontrak oleh Selangor memanfaatkan satu slot jatah pemain asing yang masih dimiliki Tim Gergasi Merah.

Selanjutnya adalah sejarah.

Kombinasi keduanya di musim perdana menghadirkan kegemparan bagi publik Malaysia. Selangor FC langsung diantar meraih treble winners, menyapu bersih semua gelar yang tersedia dalam kompetisi sepakbola Malaysia. Bepe sendiri meledak dengan total 39 gol dari 42 pertandingan di semua kompetisi pada musim itu. Mayoritas dari golnya tersebut, berasal dari signature move antara dirinya dengan Ellie yang sangat khas itu. Makanya, gelar top scorer dan player of the year yang disabet Bambang pada musim itu, harus diakui adalah berkat andil partnership-nya dengan Ellie juga.

Satu gol yang paling monumental dan paling diingat tentu saja adalah kombinasi keduanya saat membantu Selangor menghantam Perak FC dalam laga final Piala FA Malaysia tahun 2005.

Memasuki menit ke 41, Bambang, yang baru beberapa detik kembali ke lapangan setelah mengganti celananya yang robek, menerima sodoran bola dari lini tengah dengan keadaan seragam yang masih serampangan. Mengetahui Ellie tengah berlari membuka ruang di flank kanan, umpan terobosan manis dilepaskan Bepe kepadanya. Ellie yang seolah tahu jalan pikiran dari kompatriotnya itu, kemudian membawa bola hingga mendekati byline sebelum melepas crossing melengkung ke tiang jauh. Bepe, yang masih dengan keadaan seragam seperti orang habis hangover, menyelinap masuk ke kotak penalti untuk menghantam bola dengan sebuah diving header menawan. Gol, dan Stadion Shah Alam pun meledak dalam keriuhan dan suka cita. Nama keduanya pun didengung-dengungkan sebagai pahlawan di seantero stadion.

Bambang dan Ellie, tak bisa dipungkiri, meski cuma dua musim merumput di Selangor, telah menjelma menjadi santo bagi fans Selangor FC. Saya yakin di kemudian hari, kisah dan gol-gol mereka berdua akan selalu menjadi dongeng yang paling menyenangkan untuk diceritakan oleh pendukung-pendukung Selangor FC kepada anak cucunya kelak.

Pada tahun 2007, setelah menjalani dua musim yang penuh gegap gempita bersama The Red Giants, Bambang dan Ellie memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia. Dan sejak saat itu, keduanya tak pernah bersatu lagi dalam tim yang sama. Sejak saat itu juga, tidak pernah ada lagi pasangan emas Bambang - Ellie mengoyak jala lawan dengan signature move khas mereka.

Bambang memutuskan kembali ke tim home grown-nya, Persija Jakarta, sementara Ellie sempat melanglang buana ke Arema, PSMS, hingga Persidafon Dafonsoro, sebelum akhirnya kembali ke klub yang membesarkan namanya, Semen Padang. Dengan Ellie yang mulai kalah bersaing dengan talenta-talenta muda dalam memperebutkan posisi di timnas, praktis CLBK antara keduanya juga gagal terjadi pada level timnas.

Namun kini, setelah bertahun-tahun berpisah, duet Bambang - Ellie dipastikan akan melakukan reuni. Sebuah reuni yang boleh jadi tak akan pernah terlaksana, terimakasih atas dualisme dan konflik-konflik yang tak pernah berhenti mengerami sepakbola kita, andai pemain-pemain yang merumput di ISL dierbolehkan memperkuat timnas oleh KPSI.

Soal skill dan kemampuan fisik, keduanya mungkin sudah tak sebaik pada masa jayanya dulu. Akan tetapi soal pengalaman dan kepemimpinan, keduanya adalah filsuf lapangan hijau yang paling layak mengemban tanggung jawab untuk membimbing pemain-pemain muda minim jam terbang yang mengisi mayoritas jajaran skuad timnas kali ini.

Berharap duet Bambang - Ellie mampu mengatrol permainan timnas untuk sampai ke tangga juara sepertinya adalah hal yang kelampau muluk jika melihat kondisi timnas yang agak memprihatinkan seperti sekarang ini, meskipun, tidak ada salahnya juga sekedar menaruh harapan yang baik bagi timnas.

Akan tetapi kalau berharap untuk sekedar menyaksikan komentator pertandingan berteriak : " ...Ellie Aiboy berlari sendirian di sisi kiri pertahanan lawan.... crossing saja langsung ke dalam kotak penalti, daaaannnn...... GOOOOLLLL!! Bambang Pamungkas berhasil memanfaatkan crossing dari Ellie Aiboy. Indonesia memimpin untuk sementara..." sepertinya bukan sebuah hal mustahil untuk kesampaian.

Dan saat hal itu benar-benar terjadi, giliran Stadion Bukit Jalil yang akan pecah oleh keriuhan. Keriuhan bernama "nostalgia yang manis".

Minggu, 11 November 2012

Terpelajar Sejak Dalam Pikiran


Pramoedya Ananta Toer, maestro sastra Indonesia, pernah menyerukan dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia, bahwa manusia yang terpelajar sudah selayaknya berlaku adil sejak dalam pikiran dan juga dalam perbuatan, kepada siapapun, tanpa terkecuali. Mengikuti perbuatan umum yang sudah lama salah kaprah, ataupun menjustifikasi manusia lain secara bias berdasarkan faktor-faktor yang tak materiil dengan pokok permasalahan adalah perbuatan yang tak mencerminkan hal tersebut. Sebab yang baik harus tetap dinilai baik, dan yang salah harus tetap dikatakan salah.

Tapi pada kenyataannya tidak demikian. Tapi kenyataannya kebanyakan manusia memang suka begitu, tak peduli dia terpelajar atau tidak. Ambil contoh saja bagaimana PSSI menyikapi kasus penganiayaan yang menjerat salah satu punggawa timnas, Diego Michiels. Sesaat setelah jongeren yang dinaturalisasi dari Belanda untuk membela tim nasional itu dinyatakan sebagai tersangka, PSSI malah membikin langkah komedi dengan cuma memberikan denda sebesar Rp 500.000,00 tanpa hukuman skorsing apapun kepadanya. Entah atas tendensi apa PSSI melakukan hal tersebut, tapi yang jelas, sanksi yang diberikan kepada Diego itu jelas tidak mencermikan perilaku adil sejak dalam pikiran seperti yang dimaksud Pram.

Sebagai perbandingan saja, Titus Bonai, yang beberapa waktu lalu juga berlaku indisipliner, langsung dikenai sanksi berupa pencoretan dari timnas tanpa ba-bi-bu. Padahal, kalau ditilik dari segi etika dan moral, pelanggaran yang dilakukan Tibo tak seberat Diego yang kabur dari larangan jam malam cuma untuk dugem dan beradu jotos dengan sesama pengunjung klub malam. 

Dilihat dari sudut manapun, dengan alasan apa pun, apa yang dilakukan Diego adalah perbuatan yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya buat timnas. Apalagi dengan suasana timnas yang sedang tak kondusif dengan segala macam silang sengkarut yang menderanya. Apa yang dilakukan Diego hanya semakin memperkeruh keadaan timnas yang sudah tak keruan dan semakin menipiskan simpati dari masyarakat untuk timnas. Sudah sewajarnya kalau Diego kemudian diberikan hukuman yang setimpal, dengan dicoret dari timnas, misalnya.

Mungkin PSSI khawatir apabila Diego dicoret dari skuad, keharmonisan tim yang sudah mulai terjalin akan terganggu, padahal hanya dalam dua minggu lagi Piala AFF akan bergulir. Kalau memang demikian alasannya, PSSI tampaknya tak sadar kalau mereka sedang menanam bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Membiarkan Diego tetap berkeliaran dalam pemusatan latihan timnas, sama saja dengan mendoktrin pemain-pemain lain bahwa melanggar larangan keluar malam adalah hal yang sepele. Sebab kalaupun ketahuan, dendanya tak sampai jutaan, tak terlalu besar lah buat ukuran pemain kelas timnas.

Bisa jadi PSSI beralibi dengan keterbatasan pemain berkualitas yang bisa dipanggil untuk memperkuat timnas akibat adanya dualisme kompetisi. Dengan dicoretnya Diego, PSSI mungkin khawatir kalau kekuatan timnas akan jadi timpang dan kurang taji. Seharusnya PSSI ingat, kalau timnas adalah lebih besar ketimbang seorang individu. Mencoret satu pemain indisipliner dan mempertahankan pemain lain ,yang walaupun berkualitas semenjana namun mau berkomitmen penuh untuk  tim, jauh lebih baik ketimbang memiliki sepuluh pemain berkualitas top di dalam tim namun suka berbuat onar dan melanggar peraturan.

Tak perlu jauh-jauh mencari contoh ke timnas mancanegara yang tak pandang bulu dalam memberi sanksi terhadap pemainnya yang gemar melanggar peraturan, dari kancah sepakbola lokal pun kita punya kiblat untuk dijadikan contoh. Ivan Kolev misalnya, pernah menepikan Zaenal Arif menjelang partai hidup mati timnas di penyisihan grup Piala Asia tahun 2007 melawan Korea Selatan karena Arif kedapatan kabur melanggar larangan jam malam, untuk menemui keluarganya. Tahun 2004 Kolev juga pernah mencoret Isnan Ali, Kurniawan dan Mukti Ali Raja, melulu karena alasan indisipliner.

Yang paling fenomenal tentu saja adalah Anatoli Polosin yang dengan tangan dingin memarkir pemain-pemain bintang timnas seperti Ricky Yakobi, Fachry Husaini dan Ansyari Lubis akibat ulah indisiplinernya menjelang SEA GAMES tahun 1991. Hasilnya luar biasa, timnas yang berbekal punggawa-punggawa muda justru tampil trengginas dan keluar sebagai juara. Jadi, saya pikir, tidak ada alasan lain bagi PSSI untuk tidak mencoret Diego, yang kini tengah terancam hukuman bui selama lima tahun, dari skuad timnas yang tengah menjalani pemusatan latihan. 

Siapa tahu dengan keluarnya Diego, pemain-pemain lain yang merupakan deputi dari Diego di posisi bek kiri, bisa menunjukkan sinarnya yang selama ini tersembunyi oleh bayang-bayang Diego. Kita pun jadi punya alternatif baru untuk posisi bek kiri. Ya, siapa tahu.

Jadi, dengan segala hal yang saya tulis diatas, jikalau pada akhirnya hingga Piala AFF bergulir pada 24 November mendatang, kita masih bisa menjumpai nama Diego Michiels dalam daftar 23 pemain yang dibawa coach Nil Maizar untuk mengarungi perjuangan merebut piala AFF di Malaysia sana, bolehkah kalau kita menyebut pengurus-pengurus PSSI yang terhormat itu sebagai sosok yang tak terpelajar? Barangkali iya, barangkali memang begitu.

Minggu, 19 Agustus 2012

Enigma Sepakbola Nasional


Saya kerap kebingungan saban menyimak berita-berita soal sepak bola nasional belakangan ini. Selain karena beritanya yang lebih sering berisi hal-hal yang nyeleneh, informasinya juga kerap tidak konsisten dan mudah berubah-ubah.

Kala waktu di media berujar A, tapi beberapa hari kemudian yang terjadi malah B. Inkonsisten, asbun, dan membikin kita yang menonton ingin membentur-benturkan kepala ke tembok.

Misalnya saja soal boleh tidaknya pemain-pemain dari kompetisi Indonesian Super League (ISL) –yang diorganisir oleh Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI)– untuk memperkuat timnas di ajang internasional.

Kita semua tahu bahwa awalnya PSSI melarang seluruh elemen yang berkecimpung dalam kompetisi ISL untuk turut berpartisipasi dalam agenda-agenda timnas. Mulai dari pemain, pelatih, manajer tim, bahkan sampai dengan wasit, semuanya masuk dalam daftar hitam yang tak boleh ikut campur dalam segala tetek bengek persoalan timnas, kecuali sebagai penonton.

Kemudian muncul  berita mengejutkan. PSSI dan KPSI dikabarkan telah berdamai dan sepakat untuk menyamakan persepsi mereka demi kemajuan persepakbolaan nasional  Hal yang kemudian disimbolkan dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) antara keduanya pada awal Juni silam.

Pasca ditandatanganinya MoU tersebut, pintu bagi pemain-pemain yang merumput di ISL untuk (kembali) memperkuat timnas sepertinya akan terbuka lebar-lebar. Hal ini juga sesuai dengan keinginan KPSI yang menuntut persamaan hak dalam membela timnas, antara pemain ISL dan IPL.

Tapi seperti sebuah film yang mengadaptasi kisah novel, kadang hitam di atas putih yang tercetak bisa sangat berbeda dengan gerak laku dalam adegan. Beberapa hari setelah penandatanganan MoU, KPSI justru memutuskan untuk melarang pemain-pemain dari ISL untuk bergabung dengan timnas. Alasannya apa? Saya juga tak begitu paham.

Konon sih, karena KPSI merasa PSSI bertindak semaunya dalam mengirimkan perwakilan ke Liga Champions Asia, yang hanya mengikutkan wakil dari IPL saja. Alasan lainnya adalah karena kompetisi ISL masih bergulir dan tengah memasuki pekan-pekan akhir sehingga menuntut konsentrasi penuh dari setiap partisipannya.

Ah, tapi dalam rimba sepak bola kita yang selalu direcoki motif-motif terselubung, sulit untuk menarik sebuah kesimpulan yang benar-benar definitif. Segalanya serba nisbi serta penuh dengan enigma. Sulit untuk bisa percaya begitu saja.

Kondisi persepakbolaan nasional belakangan ini memang benar-benar abnormal. Induk organisasinya saja ada dua. Kompetisi liganya juga ada dua. Beberapa klub yang berkecimpung di dalamnya –misalnya Persija, Persebaya, dan Arema – pun, ikut membelah diri laksana amoeba menjadi dua, bahkan ada yang tiga. Yap, keadaan sepak bola Indonesia memang tak ubahnya tagline iklan produk wafer di televisi : “Satu mana cukup?”

Segala imbas dari dualisme tadi, toh pada akhirnya akan bermuara ke timnas juga. Bagaimana tidak, punya satu timnas yang berisikan kumpulan bakat-bakat terbaik di kolong langit bumi pertiwi ini saja kita masih kesulitan untuk berprestasi, apalagi jika kekuatan timnasnya terpecah belah menjadi dua kutub. Sudah barang pasti prestasi timnas jadi semakin butut dan inferior.

Tersingkir dari ajang kualifikasi Piala Dunia 2014 sebagai juru kunci – ditambah dengan embel-embel memalukan dibantai 10 – 0 oleh Bahrain – sudah cukup membikin muka kita merah padam. Eh, tak lama berselang  timnas U-21 malah gagal juara di ajang ecek-ecek bertajuk Piala Sultan Hasanah Bolkiah. Andik Vermansyah dkk takluk oleh tuan rumah Brunei Darussalam, dua gol tanpa balas.

Compang-camping prestasi timnas akan makin kronis jika ikut menghitung gagalnya timnas U-22 lolos ke ajang Piala Asia U-22 setelah hanya mampu bercokol di peringkat ketiga penyisihan Grup E, di bawah Jepang dan Australia.

Belum lagi dengan kekalahan telak enam gol berbalas nihil kala menjamu Malaysia dalam laga ujicoba beberapa waktu lalu. Resmi sudah sepakbola kita mengalami dekadensi prestasi, bukan lagi stagnasi.

Tidak akan ada prestasi yang sudi menghampiri selama dualisme ini tidak kunjung berhenti. Selama belum ada titik temu antara PSSI dengan KPSI, selamanya timnas akan melulu direcoki hal-hal yang berkaitan dengan faktor non teknis. Dan selama itu pula, sepak bola kita akan terus menerus berjalan mundur. Menjauh dari prestasi.

Kini, sepak bola Indonesia akan memasuki fase paling substansial bagi kelangsungan hidupnya. Kedua kompetisi yang digelar sudah berakhir dan memunculkan juara dari masing-masing kubu.

Sriwijaya FC menjadi juara ISL, sementara Semen Padang keluar sebagai kampiun IPL. Inilah titik yang paling tepat untuk melakukan konsolidasi atas segala dualisme yang telah terjadi.

Bagaimana kelanjutan kompetisi musim depan, apakah akan dilakukan penyatuan kompetisi antara ISL dan IPL, bagaimana nasib klub-klub yang mengalami dualisme kepengurusan, bagaimana persoalan gaji pemain yang masih ditunggak sebagian besar klub, serta yang paling penting, bagaimana persiapan yang akan dilakukan timnas menuju perhelatan Piala AFF, adalah enigma-enigma yang harus segera dituntaskan oleh PSSI dan KPSI untuk menentukan hendak dibawa kemanakah sepakbola Indonesia ke depannya.

Dengan Piala AFF yang akan segera digulirkan dalam hitungan bulan, apabila kisruh dualisme ini tidak segera dikonsolidasi, di saat negara-negara lain yang sudah mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari, kita mungkin tidak akan terlalu terkejut lagi jika pada akhirnya Indonesia tumbang lebih awal di fase kualifikasi grup.

Hmm, semoga saja tidak demikian.

Selasa, 10 Juli 2012

Ode Buat Balotelli


Usai sudah hajatan besar publik sepakbola Eropa yang dihelat tiap empat tahun sekali itu. Spanyol, yang bergelar sebagai incumbent, sukses mempertahankan piala yang mereka gondol empat tahun lalu, setelah mengalahkan Italia dengan skor cukup telak, 4 – 0. Spanyol sukses mencetak sejarah sebagai tim pertama yang mampu meraih gelar jawara secara back-to-back, sementara Italia harus mengubur dalam-dalam impian mereka untuk meraih gelar Euro mereka yang kedua.

Di akhir laga, kita pun disuguhi dengan dua adegan yang bertolak belakang. Bagaimana lompatan girang pemain-pemain Spanyol di tribun pengalungan medali berbanding terbalik dengan mata berkaca-kaca dan langkah gontai para punggawa Gli Azzuri yang menyasikan dari tengah lapangan. 

Satu hal yang menarik, diantara mereka terselip seorang Mario Balotelli yang tertangkap kamera tengah menangisi kekalahan timnya. Menjadi menarik karena Balotelli sudah kadung terkenal sebagai pemain yang jarang meluapkan emosinya. Ekspresi wajahnya yang minim mimik dalam segala momen, hanya mampu ditandingi oleh akting Kristen Stewart dalam film Twilight.

Jangan harap bisa menyaksikan selebrasi gol yang meledak-ledak ala Didier Drogba dari seorang Balotelli. Merayakan gol, bagi Balotelli, bukanlah prioritas utama.  "When I score I don't celebrate, because I do my work. When the postman delivers your letters, does he celebrate?" ujarnya ketika ditanya mengapa dirinya jarang melakukan selebrasi atas gol-gol yang dicetaknya.

Bagi Balotelli, mungkin, merayakan gol adalah sesuatu yang sifatnya hablumminallah. Cukup dia dan Tuhan saja yang tahu. Akan tetapi pada Euro kali ini, Balotelli tampil sebagai sosok yang berbeda dari biasanya.

Dari ketiga gol yang dilesakkanya di sepanjang Euro, semuanya dirayakan Balotelli tidak dengan selebrasi “jalan santai” sebagaimana yang biasa ia lakukan. Kita tentu masih ingat bagaimana Leonardo Bonucci harus susah payah menyumpal mulut Balotelli yang mencak-mencak setelah ia berhasil membobol gawang Irlandia lewat tendangan first time yang cukup spektakuler.

Pun begitu dengan dua golnya ke gawang Jerman. Gol pertama dirayakannya dengan mengibas-ibas kostum biru milik Italia sebelum memeluk Antonio Cassano, sang pemberi assist.  Selebrasi berikutnya jauh lebih monumental. Sehabis melepas tendangan kencang ke sudut gawang Jerman, yang mampu membuat Manuel Neuer melongo, Super Mario kemudian melepas jersey-nya lalu memasang wajah sangar sembari memamerkan otot-otot tubuhnya. Sebuah selebrasi yang bahkan sanggup membuat Patung Pemuda Membangun di Bundaran Senayan sana menjadi minder tak keruan.

Keluwesan Balotelli dalam berekspresi kemudian mencapai puncaknya di partai final. Usai mengumpat-umpat di depan kamera sesaat setelah peluit panjang ditiup wasit, dirinya kemudian tertangkap kamera tengah berkaca-kaca kala menyaksikan Iker Casillas dkk mengangkat trofi jawara Euro. Tidak seekspresif Leonardo Bonucci yang sampai menangis tersedu-sedu memang, tapi menyaksikan momen dimana Balotelli mbrebes mili adalah sesuatu yang lebih langka daripada melihat personil boyband-boyband dalam negeri menyanyi tanpa lipsync di acara musik pagi.

Sesaat setelah menyaksikan momen itu, memori di kepala saya membawa saya kembali mengingat-ingat akan masa lalu Balotelli. 

Tentang bagaimana ketika Ia “dibuang” oleh kedua orangtuanya saat masih berusia 3 tahun. Tentang bagaimana Balotelli mendapat perlakuan rasis dari teman-temannya sejak masa kanak-kanaknya. Tentang kenakalan dan ulah-ulah sintingnya kerap membuatnya disorot oleh media secara negatif. Tentang bagaimana ia akrab menjadi bahan olok-olokan dan celaan, baik oleh media maupun oleh fans.

Kesemua hal itu kemudian membuat saya paham, bahwa air mata “si Tukang Pos” di malam itu, adalah sebuah katarsis atas segala kekecewaannya yang tengah berusaha membuktikan dirinya dan membungkam segala komentar miring tentang dirinya. Kekalahan telak dari Spanyol malam itu, jelas memukul ambisi besarnya yang tengah menggelora. Apalagi kalau mengingat di partai sebelumnya, Ia mampu tampil brilian dan mencetak dua gol kemenangan.

Ah, seandainya saya berada di sebelahnya waktu itu, saya ingin membisikinya sebuah kalimat: “When a postman failed to deliver your letters, he doesn’t cry. He will try again, when he has the chance.” Jadi, jangan bersedih lagi, Balotelli. Masih ada kesempatan berikutnya.

Rabu, 04 April 2012

Moneyball for The Magpies


Musim ini performa Newcastle United benar-benar mengesankan. Sempat didakwa jadi salah satu kandidat tim yang akan masuk lubang degradasi akibat hengkangnya pemain-pemain penting semisal Joey Barton, Kevin Nolan dan juga Andy Carroll, The Magpies kini justru duduk gagah di posisi ke-5, unggul dua poin dari Chelsea plus hanya kalah produktivitas gol dari Tottenham Hotspur yang berada di posisi ke-4.

Strategi jitu mereka di bursa transfer ketika berhasil mendaratkan Demba Ba dan Yohan Cabaye di awal musim ini dengan dana tak lebih dari 4,4 juta pounds, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu "the best transfer moves" dalam sejarah Liga Inggris, ditengarai jadi sebab musabab mencuatnya The Toon Army. Hal itu kemudian dilanjutkan dengan menggaet Papiss Demba Cisse dari Freiburg dengan nilai transfer yang konon hanya sebesar 9 juta pounds pada pertengahan musim ini. Nilai tersebut jelas saja membuat penjualan Andy Carroll senilai 35 juta pounds ke Liverpool pada Januari tahun lalu tak ubahnya menang lotere dari nomer tiket yang dipungut di pinggir jalan. Untung besar.

Demba Ba, yang sempat ditolak Stoke City akibat fisiknya yang rentan cedera, sejauh ini meledak dengan torehan 16 gol. Cabaye, pemimpin orkestra lini tengah skuad Alan Pardew, sudah mencatat 2 gol dan 5 assist. Sementara Papiss Demba Cisse langsung tampil trengginas dengan mengemas 10 gol dari 8 pertandingannya bersama The Magpies.

Segenap kesuksesan di bursa transfer itu kemudian membikin saya gatal untuk mencari-cari nama Brad Pitt dalam daftar "orang-orang belakang layar" yang mengurusi Newcastle United, khususnya deputi transfer pemain. Pelbagai pencarian melalui search engine dengan macam-macam keyword sudah saya lakukan dan hasilnya nihil. Tidak ada nama Brad Pitt disana.

Mungkin kalian akan sedikit mengernyitkan dahi mencari-cari hubungan apa yang bisa mengaitkan antara Brad Pitt dengan performa hebat Newcastle United, sebuah klub sepakbola yang berjarak beribu-ribu mil jauhnya dari rumahnya di Amerika sana. Wajar, karena hipotesis saya ini memang hanya bisa dipahami oleh mereka-mereka yang telah menyaksikan film "Moneyball" saja. Ya, Moneyball, film yang berkisah tentang kejeniusan seorang manajer dalam perekrutan pemain dalam lantai bursa transfer.

Di film yang diangkat dari kisah nyata tersebut, Brad Pitt didaulat memerankan sosok Billy Beane, manajer dari sebuah tim baseball profesional asal Amerika, Oakland Athletics. Pada musim 2002/2003 Liga Baseball Amerika, Oakland hanyalah sebuah klub gurem dengan bujet minimalis yang tengah keropos akibat ditinggal pergi pemain-pemain andalannya. Hal ini mendorong Beane -- yang dibantu asistennya, Peter Brand-- untuk menemukan pemain-pemain underrated dengan harga murah, namun berpotensi hebat. Mengusung metode super rumit dengan hitung-hitungan statistik njelimet yang mereka namai sabermatrics, Oakland akhirnya berhasil mendapat pemain-pemain berkualitas dengan harga murah untuk kemudian mencetak sejarah dengan meraih 20 kemenangan berturut-turut dan terus melaju hingga ke babak final West Divisions sebelum akhirnya dihentikan oleh tim kaya raya, Boston Red Sox.

Benang merah antara Newcastle United dan Oakland Athletics terlihat jelas. Keduanya adalah tim yang sukses mendapatkan pemain-pemain berkualitas dengan harga murah, yang kemudian berimbas pada melonjaknya performa tim secara keseluruhan. Singkat kata, keduanya adalah si cerdas yang pandai bersiasat dalam urusan transfer pemain.

Asal tahu saja, Yohan Cabaye tadinya dibandrol senilai 10 juta pounds oleh Lille sebelum akhirnya berhasil diakali dengan menebus buy-out clause Cabaye yang cuma 4,4 juta pounds. Sementara untuk Cisse, mahar sebesar 15 juta pounds adalah nilai yang tadinya dipatok Freiburg untuk membuat Cisse melepas kostum merah-hitam milik Freiburg. Lagi-lagi berkat kejelian dan bargain jenius dari  Newcastle lah yang membuat Freiburg akhirnya menyerah di angka 9 juta pounds. Untuk Demba Ba lebih fenomenal lagi. Striker tim nasional Senegal ini didapatkan secara gratis setelah dilepas oleh klubnya, West Ham United. Melihat jumlah 16 gol yang dicetaknya, berbanding koleksi 2 gol milik Andy Carroll maupun 3 gol milik Fernando Torres yang berbanderol puluhan juta pounds, langkah Newcastle ini jelas lebih efektif dan efisien.

Memang, sejauh ini tak ada klaim resmi dari pihak Newcastle soal pengaplikasian metode "moneyball" ala Billy Beane dalam praktik transfer mereka. Begitu juga dengan "hipotesis Brad Pitt" milik saya yang sudah jelas-jelas tak terbukti dengan tidak ditemukannya nama Brad Pitt dalam jajaran staf manajerial Newcastle. Akan tetapi terlepas dari semua itu, langkah jenius Newcastle United memang layak dikagumi sebagai pendobrak pakem sepakbola era modern seperti sekarang ini dimana prestasi nampak begitu dependen dengan seberapa tebal pundi-pundi keuangan yang dimiliki sebuah tim.

Pada akhirnya, Newcastle mungkin memang tidak benar-benar mempraktikkan mahzab moneyball milik Beane secara utuh dan menyeluruh. Akan tetapi transfer policy yang mereka lakukan pada saat ini jelas mengusung idealisme yang serupa dengan moneyball. Setidaknya, hal itu tergambar dengan terhindarnya mereka dari membuang-buang uang sebesar 50 juta pounds hanya untuk membeli seorang "mantan striker berbahaya" ataupun 35 juta pounds untuk menggaet pria berkuncir yang lebih mirip bintang film vivid ketimbang pemain sepakbola. Well done, Geordie!

Rabu, 01 Februari 2012

Diego Michiels, Pelanduk Sepakbola Indonesia


Hidup adalah melulu soal pilihan, pun begitu yang terjadi dalam dunia sepakbola. Setiap entitas di dalamnya diberi macam-macam opsi, untuk kemudian berhak memilih salah satunya, yang diyakininya sebagai yang paling baik. Sesederhana itulah yang juga sedang dilakukan seorang Diego Michiels, pemuda keturunan Belanda yang memilih jadi Warga Negara Indonesia demi untuk mengenakan seragam kebesaran tim nasional dengan lambang garuda di dada sebelah kiri.

Pilihannya untuk mengundurkan diri sekaligus membatalkan kontraknya dengan Pelita Jaya secara sepihak, untuk kemudian menyeberang ke klub Liga (yang mengaku) Profesional bikinan PSSI sejatinya adalah tindakan yang mencederai nilai-nilai luhur sportifitas dan profesionalisme secara telak. Tentunya apabila tindakan Diego itu dilakukan bukan di ranah sepakbola Indonesia, dimana dualisi dan perpecahan sedang menjadi tren, dapat dipastikan bahwa Diego terancam sanksi mahaberat, entah dari klub, federasi sepakbola, atau bahkan dari FIFA sekalipun.

Diego, sedari awal sudah menegaskan bahwa ihwal pengunduran dirinya adalah melulu demi menyelamatkan kesempatannya membela tim nasional Indonesia. Bermain di Pelita Jaya, dalam kompetisi yang dicap ilegal oleh PSSI tentu menurut Diego bukanlah hal bagus buat kelangsungan karir nasionalnya. Meskipun sejatinya Indonesian Super League, kompetisi yang dikecimpungi Pelita Jaya, punya kualitas setingkat atau bahkan dua tingkat di atas Liga Prima Indonesia, liga yang katanya profesional itu.

Harus dicatat, bahwa keputusan Diego untuk jauh-jauh merantau dari benua Eropa ke negara tanah leluhurnya adalah demi niatnya mengenakan seragam kebesaran tim nasional Indonesia. Maka ketika dia dihadapkan pada buah simalakama dengan dua opsi, yakni membelot dari Pelita Jaya untuk menyelamatkan kans-nya memperkuat timnas atau memilih menghormati kontraknya di Pelita Jaya dengan konsekuensi kehilangan kesempatan membela timnas sampai jangka waktu yang tidak diketahui, cukup realistis bila kemudian ia memilih opsi yang pertama.

Hidup adalah soal pilihan, dan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi yang harus ditanggung akibat dari setiap pilihan yang telah dibuat. Kini Diego Michiels tengah menyongsong konsekuensi dari pilihannya, Pelita Jaya konon siap untuk memperkarakan Diego ke meja hijau, sekaligus melaporkan kasus Diego ke FIFA, sebagai induk organisasi sepakbola seluruh dunia.

Apabila hanya melihat dari kacamata hukum positif, sudah barang tentu kalau Diego adalah sang pelaku kejahatan yang melanggar aturan soal kontrak kerja dengan klub sepakbolanya. Dapat dipastikan juga, bahwa Diego adalah pihak yang sangat layak untuk mendapat hukuman sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Akan tetapi dalam kondisi sepakbola Indonesia, dengan pelbagai macam intrik dan kekisruhan di dalamnya saat ini, saya malah melihat Diego sebagai seorang korban. Korban dari sebuah perang besar memperebutkan kekuasaan, oleh dua kubu yang sama-sama mengaku sebagai pihak yang paling layak mengurusi sepakbola Indonesia.

Ibarat pepatah "Gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah", Diego dan juga segenap pemain sepakbola yang kadung berkecimpung di dalam lingkaran setan sepakbola Indonesia, sedang menghadapi perannya sebagai pelanduk. Pelanduk di antara dua gajah yang tengah bertarung, yakni gajah jenggala dan gajah rezim lawas. Ya benar, sepakbola Indonesia telah berubah jadi medan perang sekarang ini, lengkap dengan segala macam drama di dalamnya, dan kisah Diego ini hanyalah salah satunya.

Dalam segala macam perang, sudah tentu gugurnya pelanduk-pelanduk adalah sesuatu yang lumrah, dan dalam perang yang entah kapan akan berakhirnya ini, kita tak pernah tahu berapa banyak lagi pelanduk yang akan digugurkan. Tapi sebagai penikmat sepakbola nasional, harapan kita semua tentu saja sama, supaya tidak ada lagi Diego-Diego lain yang digugurkan sebagai pelanduk. Dan sepakbola Indonesia bisa bangkit lagi untuk meraih mimpi-mimpi besarnya. Semoga!

Senin, 09 Januari 2012

Scott Parker, The Underrated Midfielder


Harry Redknapp, manajer gempal berusia 64 tahun atau yang lebih dikenal sebagai "Houdini dari London Utara",  sepertinya sedang mendapati periode keemasannya bersama Tottenham Hotspurs musim ini. Sempat mengawali musim dengan dua kekalahan telak dari duo Manchester, Spurs, perlahan-lahan dibawa Redknapp merangkak naik ke papan atas klasemen, sebelum akhirnya mengakhiri tahun 2011 dengan bercokol di peringkat ketiga klasemen sementara English Premier League. Sebuah pencapaian terbaik Spurs di masa kepelatihannya.

Emmanuel Adebayor dan Jermaine Defoe boleh saja mencetak gol-gol kemenangan Spurs lewat gaya yang spektakuler. Gareth Bale dan Aaron Lennon mungkin bisa berlari dengan kecepatan bak mobil ferrari untuk menusuk ke pertahanan lawan. Sementara itu, Luka Modric dan Rafael Van Der Vaart boleh jadi adalah duo gifted midfielder dengan kemampuan passing serta visi permainan di atas rata-rata, tapi semua elemen tadi baru lengkap dengan kehadiran Scott Parker pada musim ini.

Hadirnya Parker, menjadikan lini tengah Spurs semakin lengkap dan menahbiskan Spurs sebagai salah satu pemilik barisan lini tengah terbaik di EPL musim ini. Bahkan, jauh lebih kuat dibanding lini tengah Manchester United maupun seteru utama mereka, Arsenal. Ironisnya banyak yang tak menyadari bahwa Parker lah sosok dibalik briliannya performa Spurs musim ini, tentu tanpa menepikan kontribusi dari pemain-pemain lain.

Parker mungkin tak sehebat Xavi Hernandez, Andrea Pirlo ataupun Michael Carrick dalam hal distribusi bola dari tengah ke depan. Ia juga bukan tipikal petarung yang gemar menghujani lawan dengan tackle-tackle kasar dalam perebutan bola seperti Michael Essien dan Nigel De Jong. Begitu juga soal kecepatan, dribble dan kemampuan melepas long shot, ia tak dikaruniai kehebatan tadi seperti halnya Steven Gerrard dan Frank Lampard. Jadi apa sebenarnya yang membuat Parker, mantan kapten West Ham United yang gagal menyelamatkan timnya dari jeratan degradasi musim lalu itu, menjadi sosok instrumental di lini tengah The Lilywhites musim ini?

Jawabannya adalah stamina dan determinasi, dua faktor yang menutupi kelemahan teknik Parker sehingga malah membuatnya seolah-olah memiliki seluruh kemampuan dari pemain-pemain yang saya sebutkan tadi, meski tidak sebagus mereka. Parker juga adalah salah satu gelandang dengan daya jelajah paling luas di EPL. Ia bisa berada di belakang menjadi De Jong untuk melakukan tekel, memberikan pressing dan melakukan intercept ketika lawan membangun serangan. Ia juga berperan sebagai Carrick dengan mengalirkan distribusi bola ke depan, dalam kasus ini kepada duo Modric-VdV, atau juga sesekali menjadi Lampard dengan merangsek naik memberikan opsi lain bagi rekan-rekannya di mulut gawang. Yap, Parker adalah all-rounder-midfielder.

Strategi Redknapp yang doyan mengoptimalkan dua gelandang flamboyan, yakni Rafa Van Der Vaart dan Luka Modric sebagai pemantik serangan Spurs, memang membuat lini tengah mereka beringas ketika melakukan serangan, apalagi ditunjang duo sayap pelari kencang semodel Gareth Bale dan Aaron Lennon, tetapi di saat bersamaan juga membuka lubang menganga di posisi the hole antara lingkaran tengah dengan kuartet backfour mereka akibat ketiadaan seorang stabilisator yang mumpuni.

Wilson Palacios yang musim lalu kerap mengisi posisi ini, lebih sering hilang arah di lapangan dengan berlari kesana kemari, seperti orang kebingungan alih-alih merusak serangan lawan. Sementara Sandro Raniere, bocah Brasil yang diharapkan jadi juru selamat "ruang mesin" Spurs, lebih kerap wara-wiri di ruang pemulihan cedera tinimbang berjibaku di lapangan. Jadilah musim lalu, Modric ditumbalkan untuk mengisi kelowongan posisi ini. Hasilnya tidak buruk memang, tapi tetap kurang maksimal.

Menyadari hal tersebut, awal musim ini, Redknapp mendatangkan Parker dengan banderol yang "cuma" 6 Juta Pounds. Jumlah  yang terbilang murah untuk pemain sekelas Parker. Padahal musim lalu, Parker terpilih menjadi Pemain Terbaik Liga Inggris versi FWA, asosiasi penulis sepakbola di Inggris.

Bandingkan dengan transfer Raul Meireles dari Liverpool ke Chelsea yang bernilai hingga 12 Juta Pounds, atau bahkan transfer mahal Samir Nasri dari tim non-glory-hunter ke klub penghambur uang, Manchester City, yang konon menghabiskan dana sampai 22 Juta Pounds. Nilai transfernya yang tidak bombastis, plus kepindahannya yang tidak banyak diselingi drama dan kehebohan, sedikit banyak mencerminkan betapa underrated-nya seorang Parker.

Padahal soal kontribusi Parker di lapangan, statistik ciamik yang dibuatnya menjawab semuanya. Catatan passingnya sampai dengan paruh musim ini sudah melampaui angka seribu, dengan rasio passing accuracy mencapai angka 89%. Ia juga sudah mencetak satu assist. Sementara itu, persentase kesuksesan ground duels-nya stabil di kisaran 55%. Parker juga membukukan 67 tackles dengan 70% diantaranya berakhir sukses, terbaik kelima di antara pemain-pemain EPL lainnya. Influence Parker di lapangan juga diakui dengan terpilihnya dia sebagai Tottenham Fans' Player of The Month selama 3 bulan berturut-turut sejak September hingga November lalu. Kehebatannya semakin sahih ketika dibaptis sebagai EPL Player of The Month bulan November.

Toh segenap catatan di atas tak membuat popularitas Parker menanjak, ia dinilai masih kalah kelas dengan midfielder-midfielder EPL lainnya. Parker tetap underrated. Ia sepertinya bernasib sama dengan Sergio Busquets, sosok gelandang tengah underrated lainnya, di Barcelona. Seperti Parker, Busquets juga tenggelam di bawah bayang-bayang Lionel Messi, Xavi Hernandez, dan Cesc Fabregas, meskipun ketiga pemain tadi juga mengakui, betapa instrumentalnya seorang Busquets di lini tengah tim Catalan.

Mungkin nanti, di akhir musim, ketika Spurs merayakan kejayaannya dengan lolos ke Liga Champions (seperti dua musim silam) dengan menempati peringkat ketiga (atau mungkin juga peringkat kedua, dan bukan tidak mungkin juga menjadi juara EPL) Parker tidak lagi dikenal sebagai that-underrated-midfielder. Dia akan lebih dikenal sebagai  that-boss-of-the-central park. Kita tunggu saja.