Salah satu hal paling menyebalkan saat menonton sebuah pertandingan sepakbola adalah ketika tim jagoan anda sedang ketinggalan, butuh gol, tapi pemain lawan malah mengulur-ulur waktu dengan cara yang paling klasik: pura-pura kesakitan saban terjadi kontak fisik dengan lawannya. Kalau ada hal yang lebih menyebalkan dari itu, tentu saja adalah jika tim yang anda dukung kemudian kalah dan tersingkir dari sebuah kompetisi.
Well, kemarin malam kita mendapatkan keduanya.
Berulang
kali kegagalan dan segala momen yang serba nyaris —nyaris juara, nyaris
mengalahkan tim besar, nyaris lolos dari fase grup, dan juga
nyaris-nyaris lainnya— tiap menyaksikan timnas bertanding membuat kita
merasa seperti dikutuk oleh Tuhan karena tak kunjung bisa melihat timnas
meraih prestasi. Saya lalu ingat pernah membaca tulisan dari mas @zenrs yang menyebutkan kalau nasib kita tak ubahnya Sisifus dalam mitologi Yunani.
Dalam
kisahnya, Sisifus diriwayatkan sebagai manusia yang dikutuk oleh Zeus
akibat ulah kurang ajarnya menyekap Thanatos, Dewa Kematian, yang
menyebabkan manusia di muka bumi tidak bisa mati, serta melarikan diri
dari masa hukumannya di penjara Tartarus setelah mengakali Hades dan
Persephone dengan muslihat untuk kembali ke dunia manusia. Zeus yang
sangat marah kepadanya kemudian mengutuknya dengan membuat Sisifus
"sibuk" mendorong batu besar dari kaki hingga ke puncak Gunung Olympus.
Ketika batu yang didorong Sisifus hampir sampai ke puncak, batu itu
dijatuhkan lagi ke bawah, dan Sisifus harus mengulang lagi mendorong
batu tersebut dari bawah. Dan ketika batu itu hendak sampai di puncak
lagi, batu itu dijatuhkan lagi. Begitu seterusnya, selama-lamanya.
Timnas
pun demikian. Kita punya siklus yang sangat mirip dengan kutukan
Sisifus. Mulanya tak begitu yakin bisa sampai di puncak, kemudian
optimisme muncul sedikit, dan seiring berjalannya perjalanan "mendorong
batu", optimisme makin naik. Puja-puji mulai mengalir, berita tentang
timnas merebak di mana-mana, pemain timnas mendadak jadi selebriti dan
bintang iklan sosis siap makan, terus begitu, dan
ketika hampir tiba di puncak kita jatuh lagi menggelinding ke bawah
dengan keadaan babak belur, untuk kemudian dihujat lagi karena dianggap
tak becus bermain bola. Terus begitu, entah sampai kapan.
Lihatlah
bagaimana sepak terjang timnas di Piala AFF tahun ini. Diawali dengan
macam-macam kisruh dualisme dan tarik menarik kekuasaan antara KPSI
dengan PSSI, kemudian berlanjut dengan tak diperbolehkannya
pemain-pemain yang merumput di ISL untuk memperkuat timnas oleh klubnya,
ditambah dengan kasus Diego Michiels jelang bergulirnya Piala AFF,
Indonesia memulai pejuangannya menggelindingkan batu ke Gunung Olympus
dengan persiapan minimalis plus kekuatan yang boleh dibilang ala
kadarnya. Wajar jika kemudian pesimisme yang mengepul terasa lebih hebat
daripada biasanya.
Partai
perdana menghadapi Laos seolah jadi pembenaran kalau kita memang tak
akan jadi apa-apa di turnamen dua tahunan kali ini. Laos yang secara
historis hampir selalu kita gunduli dengan skor besar, berhasil
memaksakan skor imbang 2-2. Kalaupun ada sedikit asa dari pertandingan
tersebut, itu adalah mental pantang menyerah dari para pemain yang tetap
ngotot bermain mencari gol meski sempat dua kali tertinggal oleh
gol-gol Laos.
Pertandingan
berikutnya menghadapi Singapura, awan pesimisme masih berhamburan.
Singapura di pertandingan sebelumnya berhasil menggasak tuan rumah
Malaysia, yang juga berstatus sebagai juara incumbent, dengan
skor besar 3-0. Sementara itu, kita cuma bisa imbang dengan Laos. Wajar
kalau kita semakin tak diunggulkan, bahkan diprediksi bakal kalah dengan
skor besar.
Tapi
yang terjadi di lapangan kemudian adalah antitesis. Timnas bermain
sangat rapih dan disiplin. Lapangan tengah menguasai bola dengan baik,
plus menjalankan tugasnya sebagai tembok pelapis pertahanan. Taufiq dan
Vendry Mofu yang dipasang sebagai double pivot, plus Irfan Bachdim yang kerap trackback
ke daerah pertahanan, jadi kunci Indonesia dalam menahan gempuran
Singapura malam itu. Sampai dengan turun minum, gawang timnas masih
belum kebobolan. Asa kembali muncul. Satu poin sepertinya tak akan lari
kemana-mana jika timnas terus bermain seperti itu di babak kedua.
Saat
Irwan Shah mendapat kartu kuning kedua di menit 66', kita semua tahu
ada keyakinan yang mulai muncul kalau-kalau Indonesia bisa mencuri satu
gol untuk kemudian mengamankan raihan 3 poin. Dan Tuhan, yang malam itu
sedang memiliki selera humor yang bagus, mengabulkannya. Set piece
Andik Vermansyah, yang kita tak tahu dimaksudkan untuk mengirim umpan
lambung atau melakukan tembakan parabola jarak jauh, melesak masuk ke
sudut gawang Singapura. Gol, dan skor 1-0 itu tetap bertahan sampai
akhir pertandingan.
Indonesia
berhasil mencabut rekor tak pernah menang dari Singapura dalam tujuh
pertandingan terakhir (enam kalah, sekali imbang) dengan skuat yang
justru ala kadarnya. Kontan, harapan mulai membumbung. Andik dkk mulai
ramai masuk pemberitaan media. Infotainment yang mungkin sudah
bosan memberitakan kehidupan Nassar-Muzdalifah, kembali ikut-ikutan
memberi lampu sorot terhadap kinerja timnas. Dan meski kini belum ada
lagi iklan sosis siap makan yang memajang pemain-pemain
timnas sebagai model iklannya, kita tahu optimisme mulai mengepul di
dada masyarakat. Target lolos dari fase grup tinggal beberapa jengkal di
depan mata setelah Indonesia hanya membutuhkan hasil imbang kala bersua
tuan rumah Malaysia untuk melaju ke babak selanjutnya. Kalau rekor tak
pernah menang dari Singapura saja bisa kita putus, siapa yang tak
tergoda untuk berharap kalau timnas setidaknya mampu menahan imbang Malaysia?
Orang
bilang harapan adalah akar dari segala kekecewaan, dan kita tahu itu.
Akan tetapi, pada akhirnya kita selalu kembali tergoda untuk berharap
ketika menyangkut prestasi timnas, meskipun kita juga sudah tahu ada
kemungkinan yang teramat besar untuk dikecewakan. Dan benar saja, tadi
malam, kita kembali dikecewakan oleh timnas. Timnas lagi-lagi
menjatuhkan batu harapan yang sudah didorong dengan susah payah, bahkan
kali ini sebelum mencapai setengah perjalanannya ke puncak.
Skenario
kembali terulang. Skenario yang terus terjadi selama 22 tahun lamanya.
Skenario yang sebenarnya kita sudah tahu akan berakhir seperti apa.
Sebab, dengan persiapan yang optimal dan turun dengan talenta-talenta
terbaik negeri ini saja, selama ini kita tak juga bisa meraih prestasi,
apalagi dengan tahun ini yang dipenuhi konflik perselisihan kekuasaan
antara PSSI dan KPSI, plus cuma bermodal persiapan ala kadarnya dan
keterbatasan talenta pemain yang bisa dipanggil. Kita semua sebenarnya
sudah tahu, cepat atau lambat, pada akhirnya kegagalan Indonesia di
Piala AFF tahun ini memang bakal kejadian.
Pada
akhirnya, kita kembali cuma bisa mengutuki nasib dan juga orang-orang
yang berada dibalik kepengurusan PSSI (dan juga KPSI) akibat
tingkah polah mereka yang tak kunjung becus mengurus sepakbola dalam
negeri. Kita juga, lagi-lagi, cuma bisa membayangkan saat dimana timnas
mampu bergelimang prestasi dan kita akhirnya lepas dari kutukan Sisifus yang
sudah berjalan 22 tahun lamanya.
Kini,
sembari menunggu saat itu terjadi, dimana menonton timnas bertanding
dan berharap mereka meraih kemenangan bukan lagi sekedar sado-masokisme,
mari persiapkan tangan dan kaki kita untuk sekali lagi menjalani
rutinitas Sisifus-esque dengan mencoba kembali mendorong batu besar yang
berat ini. Tapi kali ini bukan untuk digelindingkan ke puncak Gunung
Olympus, melainkan digelindingkan ke kantor para pengurus PSSI dan KPSI.
Supaya mereka-mereka yang rakus akan kekuasaan itu remuk tergilas batu
besar. Supaya tidak ada lagi kepengurusan asal-asalan dan penuh intrik
di sepakbola kita. Supaya sepakbola Indonesia bisa memulai awal langkah
pembaharuan menuju yang ke arah yang lebih baik.
Bung, ayo Bung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar