Laman

Jumat, 25 Juli 2014

Atletico Madrid dan Sulitnya Melawan Keterbatasan Finansial


Selalu menyenangkan menyaksikan kejutan-kejutan yang terjadi dalam sebuah pertandingan sepakbola. Perkara giant killing, hasil-hasil anti klimaks, atau bagaimana sebuah tim yang tak terlalu diunggulkan bisa melesat hingga ke tangga juara adalah hal-hal puitik yang selalu berhasil membikin sepakbola tetap bertahan pada koridornya sebagai sebuah permainan dengan kadar relatifitas yang amat pekat. Sebagaimana adagium lama sering berujar bahwa bola itu bundar, segala sesuatunya memang bisa terjadi di dalam sepakbola.

Musim lalu kita semua sepakat bahwa kejutan terbesar datang dari distrik Arganzuela, di kota Madrid. Club Atletico de Madrid S.A.D melakukan kejahatan besar dengan menjadi kampiun La Liga setelah memporak-porandakan hegemoni Real Madrid dan Barcelona. Duopoli yang selama bertahun-tahun menguasai tampuk juara La Liga secara bergantian itu, musim lalu dipaksa menelan pil pahit setelah kompetisi balapan dua ekor kuda yang fasih mereka lakukan, justru berakhir dengan kemenangan si kuda hitam yang melesat dari belakang.

Tidak berhenti sampai di situ saja, Los Colchoneros juga membikin ledakan hebat di ajang Liga Champions. Mereka kembali melakukan kejahatan besar setelah berhasil menumbangkan tim-tim besar macam AC Milan dan Chelsea untuk sampai di babak final Liga Champions yang dihelat di Estadio Da Luz. Kendati kemudian harus tumbang dari Real Madrid di babak perpanjangan waktu, segala perkara giant killing yang telah mereka lakukan membikin pencapaian mereka musim lalu amat layak untuk diganjar apresiasi dengan setinggi-tingginya, dengan sehebat-hebatnya.

Tak bisa dipungkiri, Atleti musim lalu adalah bandwagon yang selalu berhasil memancing simpatisan untuk hinggap menyaksikan pertunjukan mereka. Permainan yang atraktif, dengan pressing ketat dari lini tengah, passing-passing yang memanjakan mata, serta counter-attack yang mematikan dengan produktivitas yang istimewa dari seorang Diego Costa, adalah gimmick yang menggiurkan bagi kita semua agar betah berlama-lama menonton laga Atleti, sekalipun anda tak mendukung tim ini.

Sayang, apa yang mereka capai musim lalu besar kemungkinan tak bakal terulang lagi di musim ini. Silahkan tengok manuver mereka di bursa transfer musim ini dan anda akan mendapati kenyataan bahwa Atleti yang akan kita tonton di musim ini bakal sama sekali berbeda dengan apa yang kita tonton di musim lalu. Tidak tanggung-tanggung, sampai dengan tulisan ini dibikin, sudah ada sembilan pilar Los Rojiblancos yang hengkang dari Vicente Calderon. Dan tentu saja, jumlah itu masih sangat mungkin akan bertambah.

Adalah sebuah kewajaran bahwa di dalam sepakbola pemain bisa datang dan pergi kapanpun  mereka mau. Anda juga boleh saja menjadi pribadi yang optimistis dan bijak bestari laksana motivator di televisi, tetapi kehilangan nama-nama high profile semodel Diego Costa, Thibaut Courtois, David Villa, hingga pemain-pemain berdeterminasi tinggi seperti Adrian Lopez dan Filipe Luis jelas tidak akan menuntun tim anda kemana-mana kecuali ke dalam sebuah limbo yang kelam bernama keterpurukan. Jika kita ikut menghitung kekuatan rival mereka—Real Madrid dan Barcelona—yang terus berbenah dengan melakukan altas-bajas di bursa transfer, apa yang dilakukan Atleti sekarang tentu saja adalah sebuah degenerasi yang tidak terelakkan lagi.

kondisi keuangan Atletico Madrid, diambil dari blog Swiss Ramble

Akan tetapi perlu disadari juga, bahwa penjualan pemain bintang yang dilakukan Atleti adalah sesuatu yang bukan tanpa motif. Sebagai sebuah tim kelas dua, katakanlah demikian, Atleti memang sedang dihadapkan pada situasi cukup sulit. Tim-tim seperti mereka, biasanya memiliki sebuah filosofi sederhana dalam mengarungi sebuah kompetisi: bisa juara syukur, tidak juara pun tak mengapa. Yang terpenting adalah bagaimana margin profit mereka bisa terjaga, akan lebih baik lagi jika bisa meningkat. Sebab untuk sampai ke level sebuah klub mapan yang ikut berkompetisi di jalur juara, terlebih dahulu mereka harus survive di sektor finansial dan berhasil menjaga growth di sektor margin profit.

Di sinilah permasalahan yang dimiliki oleh Altetico Madrid: kondisi keuangan mereka tak pernah berbanding lurus dengan prestasi mereka di atas lapangan. Sejak era kepemimpinan Jesus Gil di tahun 1987, bisnis Atletico Madrid memang dijalankan dengan minim kalkulasi. Pembelian pemain yang jor-joran—turut disebabkan seringnya pergantian pelatih yang dilakukan—tak kurang menghasilkan angka net transfer spend mereka di kisaran minus 98,5 juta Euro untuk periode 2003 sampai dengan 2013.

Minimnya budget yang dimiliki toh tidak membuat Los Colchoneros mengerem aktivitas mereka di bursa transfer. Jika klub-klub minim dana biasanya harus menjual pemain mereka terlebih dahulu sebelum membeli pemain, Atleti malah memilih jalan yang rawan dengan menggaet pihak ketiga untuk membiayai kekurangan biaya altas-bajas mereka. Pembelian Radamel Falcao dua musim silam adalah salah satu bukti nyata kebijakan ini. Maka menjadi keniscayaan, jika kemudian kebijakan-kebijakan itu bermuara pada menggunungnya hutang klub. Berdasarkan data dari blog Swiss Ramble, hutang yang harus diampu Atletico Madrid pada tahun 2011 berjumlah 517 juta Euro. Dari angka sebesar itu, sekitar 155 juta Euro berasal dari hutang pajak terhadap pemerintah Spanyol.

Memang, Barcelona dan Real Madrid bukannya tak memiliki hutang sama sekali. Jumlah hutang kedua klub itu bahkan jauh lebih besar dari milik Atletico Madrid (578 dan 590 juta Euro). Akan tetapi, kedua klub ini mampu menghasilkan revenue dalam jumlah yang fantastis (rata-rata 450-an juta Euro) tiap musimnya. Bandingkan dengan rataan pendapatan per musim Atleti yang cuma berkisar di angka 100 juta Euro, dimana hampir separuhnya berasal dari pembagian hak siar televisi. Hal ini tentu saja mengakibatkan rasio debt cover yang dimiliki Atleti, tak sebagus milik duo clasico tersebut. Makanya, penjualan pemain besar-besaran yang sekarang tengah dilakukan oleh manajemen Atletico Madrid, adalah murni kebijakan bisnis yang kudu dilakukan, disaat harga pemain-pemain mereka sedang berada dalam peak price. It's a now or never business, dan mereka tidak melewatkannya begitu saja.

Melihat segala kondisi di atas, jika klub dengan kondisi keuangan yang relatif sehat seperti Borussia Dortmund saja terpaksa menjual satu per satu bintangnya kala tawaran dengan nominal besar datang menjemput, melulu untuk menjaga margin profit mereka, bagaimana mungkin Enrique Cerezo bisa berkata tidak ketika Roman Abramovich menawarinya "bantuan" untuk meringankan beban-beban di neraca keuangannya? Dan memang kenyataannya, menukar beberapa pemain dengan segepok uang segar, harus diakui, adalah salah satu langkah instan yang bisa mendatangkan uang dalam jumlah besar untuk menjaga stabilitas finansial klub. Sebuah ilmu yang telah kita pelajari baik-baik dari Monsieur Wenger dan caranya mengelola Arsenal.

Jika Real Madrid dan Barcelona adalah orang-orang kaya yang memiliki deretan Lamborghini dan Ferrari di dalam garasi mereka, maka Atletico Madrid musim lalu adalah tukang becak yang baru saja memenangkan undian berhadiah Nissan X-Trail, namun terpaksa langsung menjualnya kepada pihak ketiga lantaran tidak sanggup melunasi pajak hadiahnya. Ah, itu bahkan sebelum ia sempat memikirkan soal bahan bakar non subsidi untuk mobilnya.

Rabu, 30 Oktober 2013

Setelah Mario Gotze Tak Ada Lagi


Borussia Dortmund musim lalu adalah sebuah anti-klimaks. Bandwagon mereka yang melesat dengan meriah serta menjadi persinggahan baru bagi para hipster sepakbola dadakan, pada akhirnya malah bersemuka dengan akhir yang getir: dikalahkan Bayern Munich—musuh bebuyutan mereka—dalam dua kompetisi akbar sekaligus.

Selisih mencolok sampai dengan 25 poin di klasemen akhir Bundesliga musim lalu, serta gol kemenangan dari Arjen Robben pada final Liga Champions yang dihelat di Wembley, menghukum Dortmund dengan menapaktilasi jejak milik Bayern Munich semusim sebelumnya: mendapat gelar kehormatan sebagai tim yang hanya "nyaris juara".

Padahal, sampai dengan sebelum Niccola Rizzoli meniup peluit panjang di Wembley malam itu, tak sedikit yang menaruh harapan kalau Dortmund bakal menulis ulang kisah Cinderella dengan keluar sebagai juara Liga Champions. Mengangkangi tim kaya raya macam Bayern Munich, Barcelona, ataupun Real Madrid. Tapi apa boleh bikin, seperti kata Shakespeare, harapan adalah akar dari segala kekecewaan. Dan malam itu, kita semua tahu, satu-satunya kisah Cinderella yang ditulis ulang oleh Dortmund hanyalah bagian saat Cinderella disiksa oleh ibu dan saudari-saudari tirinya.

A series of unfortunate event yang menimpa Dortmund musim lalu terasa kian lengkap dengan hengkangnya the prodigy yang selama ini menjadi talisman mereka, Mario Gotze. Ironisnya, lagi-lagi Bayern Munich menjadi pihak yang memancing di air keruh ketika dengan jumawa mengumumkan transfer Gotze, hanya beberapa minggu jelang clash kedua klub di laga final. Jika Chairil Anwar menganalogikan nasib sebagai kesunyian milik masing-masing, saya bayangkan kesunyian yang diterima Dortmund musim lalu tentulah sebenar-benarnya keheningan yang absolut.

Akan tetapi perpisahan ataupun kekalahan seringkali tak melulu tentang akhir yang getir, ataupun ujung jalan yang rawan. Kadang-kadang perpisahan, juga kekalahan, kerap melahirkan a better beginning for deserved ending. Kepergian Gotze, kekalahan yang menyakitkan dari Muenchen musim lalu, boleh jadi memang meninggalkan codet yang perih di jidat segenap punggawa Die Borussen. Tetapi mereka paham betul, bahwasanya hak prerogatif untuk menolak beranjak dari masa lalu hanyalah milik The Script semata. Kegagalan, sepahit apapun itu, haruslah dilupakan selekas-lekasnya, juga secepat-cepatnya.

Maka hukum kekekalan sepakbola kembali berbicara di sini: ada yang pergi, pasti akan ada yang menggantikan. Tiga nama baru merapat ke Signal Iduna Park, menggantikan Gotze, dan juga Moritz Leitner serta Felipe Santana yang hengkang ke klub lain. Henrikh Mkhitaryan, Pierre-Emerick Aubameyang dan Sokratis Papastathopoulos adalah nama-nama yang dipilih Juergen Klopp untuk memperkuat skuatnya musim ini.

Nama pertama—Mkhitaryan—adalah orang yang didaulat Klopp untuk mengisi poros kreatif penyerangan yang ditinggalkan Gotze. Kemampuan umpan dan visi permainannya akan menjadi pendulum yang krusial menentukan kemana arah permainan Dortmund bakal bermuara. Catatan golnya bersama Shakhtar Donetsk musim lalu, yang mencapai angka 29, juga bakal membikin dirinya jadi salah satu pendulang gol yang bisa diandalkan oleh publik Westfallen.

Sementara dua nama lain, Aubameyang dan Sokratis, adalah jawaban untuk mengisi kedalaman skuat Dortmund yang musim lalu nampak setipis pembalut wanita. Terkhusus untuk Aubameyang, tipikalnya yang cepat dan ulet bakal sangat berguna bagi serangan balik "blitzkrieg" terapan Klopp. Ia juga bisa menjadi pelapis yang sepadan bagi Robert Lewandowski kala striker Polandia itu harus absen. Reputasinya sebagai penggedor gawang yang prominen telah terkulminasi lewat raihan podium kedua top skor Ligue 1 musim lalu. Kelak, jika Lewandowski jadi hengkang—mengikuti jejak Gotze—jelas kita semua tahu siapa orang yang akan didapuk Klopp sebagai deputinya.

Dan Juergen Klopp, well, is just being Klopp. Hasil manuvernya di bursa transfer selalu berhasil guna dan tak pernah mengecewakan. Kehilangan Mario Gotze sama sekali tak membikin Dortmund tumpul, pincang, atau apapun yang bersinonim dengan hal tersebut. Mkhitaryan berhasil menambal dengan sempurna ceruk besar yang ditinggal Gotze. Sementara Aubameyang, selepas mencatat hattrick di debutnya yang fenomenal, secara konstan terus menebar ancaman dari lini serang Dortmund saban kali dimainkan.

Dortmund memang masih berada di sana, di tempat yang sama dengan kualitas mereka musim-musim sebelumnya, sekalipun ditinggal pemain sekaliber Mario Gotze. Di kompetisi Bundesliga, Dortmund masih saling sikut dengan Bayern memperebutkan posisi top of the table. Sementara di kompetisi Liga Champions, Die Schwarzgelben masih jumawa memegang tampuk hegemoni Grup F—yang dibaptis sebagai grup neraka—dengan raihan sembilan poin. Terakhir, mereka menumbangkan the in form Arsenal di kandangnya sendiri dengan skor 1-2. Jelas sekali tidak ada imbas atas kepergian Gotze yang tergambar di sana, barang satu zarah sekalipun.

Pada akhirnya, Mario Gotze mungkin memang pernah menjadi dearest dear bagi sebagian besar fans Borussia Dortmund di seluruh dunia. Akan tetapi keputusannya menyeberang ke pelukan musuh saat Dortmund mulai menaruh harapan besar di pundaknya, membuat dirinya nampak seperti Judas yang kepalang kurang ajar. Dengan performa Dortmund yang masih baik-baik saja —kalau tak boleh dibilang impresif— sampai dengan saat ini, kepergian Gotze jelas bukanlah sebuah kisah sedih yang kudu dirayakan dengan senandung kidung-kidung sendu. Sebaliknya, kepergian Gotze mungkin malah lebih layak dikenang sebagai kisah usang dari seorang mantan kekasih yang mudah dilupakan.

Ah, terlalu mudah malah.