Laman

Kamis, 15 November 2012

Menanti Reuni Bambang - Ellie



Dalam segala hal, manusia memang telah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan. Dan kadang-kadang, karena keberadaan pasangan lah, seseorang akhirnya mampu mengeluarkan potensi terbaik yang ada di dalam dirinya.

Sid Vicious mungkin tak akan sesableng seperti yang kita kenal sekarang andai ia tak pernah mengenal Nancy Spungen. Alan Budikusuma dan Susi Susanti juga saling tahu, bahwa mereka tak jadi raja dan ratu dunia tepok bulu melulu karena bakat yang mereka miliki, tetapi juga berkat dukungan yang berjalan timbal balik antar keduanya.

Sepakbola pun demikian. Meski dalam koridor yang agak berbeda, kancah lapangan hijau selalu memiliki kisah unik tentang pasangan-pasangan yang menjadi protagonis dalam melodrama bernama sepakbola.

Bagi yang besar di era 90-an tentu tak asing lagi dengan hikayat mengenai duet maut Alessandro Del Piero dan Pippo Inzaghi di garda depan penyerangan Juventus yang kesohor dengan julukan Del-Pippo. Begitu pun dengan fans Manchester United yang tak akan pernah lupa dengan kebesaran tandem Andy Cole - Dwight Yorke ketika mengantar tim mereka menyabet treble di musim 1998/1999. Dan jika kita menilik ke negeri sendiri, sepertinya tidak ada sosok lain yang layak disebut sebagai "pasangan emas" selain tandem sehati antara Bambang Pamungkas dengan Ellie Aiboy.

Bepe mungkin tak akan pernah dikenal sebagai pemain lokal dengan kemampuan finishing kepala paling mematikan andai ia tak menerima crossing-crosing memanjakan dari seorang Ellie. Pun begitu dengan Ellie yang mungkin saja hanya akan menjadi pemain dengan crossing anti gravitasi seperti Bebe (yeah, that Bebe) jika ia tak bertemu pemain seperti Bambang yang selalu siap sedia menadah umpan menyilangnya dengan lompatan vertikal plus heading akurat. Singkat kata, keduanya adalah senyawa yang saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.

Meski cuma menjalani kebersamaan selama lima musim (2002 - 2006), keharmonisan dan saling pengertian antar keduanya jauh lebih baik daripada hubungan Raffi Ahmad dan Yuni Shara yang putus nyambung tak jelas rimbanya itu. Dalam lima musim tersebut, tak terhitung berapa banyak kombinasi yang dibentuk keduanya demi mengoyak jala lawan.

Persija Jakarta, Timnas Indonesia, dan Selangor FC adalah tim-tim yang pernah merasakan tuah emas dari pasangan ini. Gol demi gol, assist demi assist rajin ditorehkan oleh Bepe - Ellie bagi tim-tim tersebut. Tapi meskipun demikian, di Selangor FC lah keduanya menemukan masa kejayaan.

Bermula dari kepindahan Bepe ke Selangor pada tahun 2005, Ellie yang waktu itu niatnya hanya mengantar kepergian sahabat karibnya, malah ditawari trial oleh manajemen Selangor. Dasar jodoh, Ellie pun dianggap mumpuni dan akhirnya dikontrak oleh Selangor memanfaatkan satu slot jatah pemain asing yang masih dimiliki Tim Gergasi Merah.

Selanjutnya adalah sejarah.

Kombinasi keduanya di musim perdana menghadirkan kegemparan bagi publik Malaysia. Selangor FC langsung diantar meraih treble winners, menyapu bersih semua gelar yang tersedia dalam kompetisi sepakbola Malaysia. Bepe sendiri meledak dengan total 39 gol dari 42 pertandingan di semua kompetisi pada musim itu. Mayoritas dari golnya tersebut, berasal dari signature move antara dirinya dengan Ellie yang sangat khas itu. Makanya, gelar top scorer dan player of the year yang disabet Bambang pada musim itu, harus diakui adalah berkat andil partnership-nya dengan Ellie juga.

Satu gol yang paling monumental dan paling diingat tentu saja adalah kombinasi keduanya saat membantu Selangor menghantam Perak FC dalam laga final Piala FA Malaysia tahun 2005.

Memasuki menit ke 41, Bambang, yang baru beberapa detik kembali ke lapangan setelah mengganti celananya yang robek, menerima sodoran bola dari lini tengah dengan keadaan seragam yang masih serampangan. Mengetahui Ellie tengah berlari membuka ruang di flank kanan, umpan terobosan manis dilepaskan Bepe kepadanya. Ellie yang seolah tahu jalan pikiran dari kompatriotnya itu, kemudian membawa bola hingga mendekati byline sebelum melepas crossing melengkung ke tiang jauh. Bepe, yang masih dengan keadaan seragam seperti orang habis hangover, menyelinap masuk ke kotak penalti untuk menghantam bola dengan sebuah diving header menawan. Gol, dan Stadion Shah Alam pun meledak dalam keriuhan dan suka cita. Nama keduanya pun didengung-dengungkan sebagai pahlawan di seantero stadion.

Bambang dan Ellie, tak bisa dipungkiri, meski cuma dua musim merumput di Selangor, telah menjelma menjadi santo bagi fans Selangor FC. Saya yakin di kemudian hari, kisah dan gol-gol mereka berdua akan selalu menjadi dongeng yang paling menyenangkan untuk diceritakan oleh pendukung-pendukung Selangor FC kepada anak cucunya kelak.

Pada tahun 2007, setelah menjalani dua musim yang penuh gegap gempita bersama The Red Giants, Bambang dan Ellie memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia. Dan sejak saat itu, keduanya tak pernah bersatu lagi dalam tim yang sama. Sejak saat itu juga, tidak pernah ada lagi pasangan emas Bambang - Ellie mengoyak jala lawan dengan signature move khas mereka.

Bambang memutuskan kembali ke tim home grown-nya, Persija Jakarta, sementara Ellie sempat melanglang buana ke Arema, PSMS, hingga Persidafon Dafonsoro, sebelum akhirnya kembali ke klub yang membesarkan namanya, Semen Padang. Dengan Ellie yang mulai kalah bersaing dengan talenta-talenta muda dalam memperebutkan posisi di timnas, praktis CLBK antara keduanya juga gagal terjadi pada level timnas.

Namun kini, setelah bertahun-tahun berpisah, duet Bambang - Ellie dipastikan akan melakukan reuni. Sebuah reuni yang boleh jadi tak akan pernah terlaksana, terimakasih atas dualisme dan konflik-konflik yang tak pernah berhenti mengerami sepakbola kita, andai pemain-pemain yang merumput di ISL dierbolehkan memperkuat timnas oleh KPSI.

Soal skill dan kemampuan fisik, keduanya mungkin sudah tak sebaik pada masa jayanya dulu. Akan tetapi soal pengalaman dan kepemimpinan, keduanya adalah filsuf lapangan hijau yang paling layak mengemban tanggung jawab untuk membimbing pemain-pemain muda minim jam terbang yang mengisi mayoritas jajaran skuad timnas kali ini.

Berharap duet Bambang - Ellie mampu mengatrol permainan timnas untuk sampai ke tangga juara sepertinya adalah hal yang kelampau muluk jika melihat kondisi timnas yang agak memprihatinkan seperti sekarang ini, meskipun, tidak ada salahnya juga sekedar menaruh harapan yang baik bagi timnas.

Akan tetapi kalau berharap untuk sekedar menyaksikan komentator pertandingan berteriak : " ...Ellie Aiboy berlari sendirian di sisi kiri pertahanan lawan.... crossing saja langsung ke dalam kotak penalti, daaaannnn...... GOOOOLLLL!! Bambang Pamungkas berhasil memanfaatkan crossing dari Ellie Aiboy. Indonesia memimpin untuk sementara..." sepertinya bukan sebuah hal mustahil untuk kesampaian.

Dan saat hal itu benar-benar terjadi, giliran Stadion Bukit Jalil yang akan pecah oleh keriuhan. Keriuhan bernama "nostalgia yang manis".

Minggu, 11 November 2012

Terpelajar Sejak Dalam Pikiran


Pramoedya Ananta Toer, maestro sastra Indonesia, pernah menyerukan dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia, bahwa manusia yang terpelajar sudah selayaknya berlaku adil sejak dalam pikiran dan juga dalam perbuatan, kepada siapapun, tanpa terkecuali. Mengikuti perbuatan umum yang sudah lama salah kaprah, ataupun menjustifikasi manusia lain secara bias berdasarkan faktor-faktor yang tak materiil dengan pokok permasalahan adalah perbuatan yang tak mencerminkan hal tersebut. Sebab yang baik harus tetap dinilai baik, dan yang salah harus tetap dikatakan salah.

Tapi pada kenyataannya tidak demikian. Tapi kenyataannya kebanyakan manusia memang suka begitu, tak peduli dia terpelajar atau tidak. Ambil contoh saja bagaimana PSSI menyikapi kasus penganiayaan yang menjerat salah satu punggawa timnas, Diego Michiels. Sesaat setelah jongeren yang dinaturalisasi dari Belanda untuk membela tim nasional itu dinyatakan sebagai tersangka, PSSI malah membikin langkah komedi dengan cuma memberikan denda sebesar Rp 500.000,00 tanpa hukuman skorsing apapun kepadanya. Entah atas tendensi apa PSSI melakukan hal tersebut, tapi yang jelas, sanksi yang diberikan kepada Diego itu jelas tidak mencermikan perilaku adil sejak dalam pikiran seperti yang dimaksud Pram.

Sebagai perbandingan saja, Titus Bonai, yang beberapa waktu lalu juga berlaku indisipliner, langsung dikenai sanksi berupa pencoretan dari timnas tanpa ba-bi-bu. Padahal, kalau ditilik dari segi etika dan moral, pelanggaran yang dilakukan Tibo tak seberat Diego yang kabur dari larangan jam malam cuma untuk dugem dan beradu jotos dengan sesama pengunjung klub malam. 

Dilihat dari sudut manapun, dengan alasan apa pun, apa yang dilakukan Diego adalah perbuatan yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya buat timnas. Apalagi dengan suasana timnas yang sedang tak kondusif dengan segala macam silang sengkarut yang menderanya. Apa yang dilakukan Diego hanya semakin memperkeruh keadaan timnas yang sudah tak keruan dan semakin menipiskan simpati dari masyarakat untuk timnas. Sudah sewajarnya kalau Diego kemudian diberikan hukuman yang setimpal, dengan dicoret dari timnas, misalnya.

Mungkin PSSI khawatir apabila Diego dicoret dari skuad, keharmonisan tim yang sudah mulai terjalin akan terganggu, padahal hanya dalam dua minggu lagi Piala AFF akan bergulir. Kalau memang demikian alasannya, PSSI tampaknya tak sadar kalau mereka sedang menanam bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Membiarkan Diego tetap berkeliaran dalam pemusatan latihan timnas, sama saja dengan mendoktrin pemain-pemain lain bahwa melanggar larangan keluar malam adalah hal yang sepele. Sebab kalaupun ketahuan, dendanya tak sampai jutaan, tak terlalu besar lah buat ukuran pemain kelas timnas.

Bisa jadi PSSI beralibi dengan keterbatasan pemain berkualitas yang bisa dipanggil untuk memperkuat timnas akibat adanya dualisme kompetisi. Dengan dicoretnya Diego, PSSI mungkin khawatir kalau kekuatan timnas akan jadi timpang dan kurang taji. Seharusnya PSSI ingat, kalau timnas adalah lebih besar ketimbang seorang individu. Mencoret satu pemain indisipliner dan mempertahankan pemain lain ,yang walaupun berkualitas semenjana namun mau berkomitmen penuh untuk  tim, jauh lebih baik ketimbang memiliki sepuluh pemain berkualitas top di dalam tim namun suka berbuat onar dan melanggar peraturan.

Tak perlu jauh-jauh mencari contoh ke timnas mancanegara yang tak pandang bulu dalam memberi sanksi terhadap pemainnya yang gemar melanggar peraturan, dari kancah sepakbola lokal pun kita punya kiblat untuk dijadikan contoh. Ivan Kolev misalnya, pernah menepikan Zaenal Arif menjelang partai hidup mati timnas di penyisihan grup Piala Asia tahun 2007 melawan Korea Selatan karena Arif kedapatan kabur melanggar larangan jam malam, untuk menemui keluarganya. Tahun 2004 Kolev juga pernah mencoret Isnan Ali, Kurniawan dan Mukti Ali Raja, melulu karena alasan indisipliner.

Yang paling fenomenal tentu saja adalah Anatoli Polosin yang dengan tangan dingin memarkir pemain-pemain bintang timnas seperti Ricky Yakobi, Fachry Husaini dan Ansyari Lubis akibat ulah indisiplinernya menjelang SEA GAMES tahun 1991. Hasilnya luar biasa, timnas yang berbekal punggawa-punggawa muda justru tampil trengginas dan keluar sebagai juara. Jadi, saya pikir, tidak ada alasan lain bagi PSSI untuk tidak mencoret Diego, yang kini tengah terancam hukuman bui selama lima tahun, dari skuad timnas yang tengah menjalani pemusatan latihan. 

Siapa tahu dengan keluarnya Diego, pemain-pemain lain yang merupakan deputi dari Diego di posisi bek kiri, bisa menunjukkan sinarnya yang selama ini tersembunyi oleh bayang-bayang Diego. Kita pun jadi punya alternatif baru untuk posisi bek kiri. Ya, siapa tahu.

Jadi, dengan segala hal yang saya tulis diatas, jikalau pada akhirnya hingga Piala AFF bergulir pada 24 November mendatang, kita masih bisa menjumpai nama Diego Michiels dalam daftar 23 pemain yang dibawa coach Nil Maizar untuk mengarungi perjuangan merebut piala AFF di Malaysia sana, bolehkah kalau kita menyebut pengurus-pengurus PSSI yang terhormat itu sebagai sosok yang tak terpelajar? Barangkali iya, barangkali memang begitu.