Laman

Rabu, 30 Oktober 2013

Setelah Mario Gotze Tak Ada Lagi


Borussia Dortmund musim lalu adalah sebuah anti-klimaks. Bandwagon mereka yang melesat dengan meriah serta menjadi persinggahan baru bagi para hipster sepakbola dadakan, pada akhirnya malah bersemuka dengan akhir yang getir: dikalahkan Bayern Munich—musuh bebuyutan mereka—dalam dua kompetisi akbar sekaligus.

Selisih mencolok sampai dengan 25 poin di klasemen akhir Bundesliga musim lalu, serta gol kemenangan dari Arjen Robben pada final Liga Champions yang dihelat di Wembley, menghukum Dortmund dengan menapaktilasi jejak milik Bayern Munich semusim sebelumnya: mendapat gelar kehormatan sebagai tim yang hanya "nyaris juara".

Padahal, sampai dengan sebelum Niccola Rizzoli meniup peluit panjang di Wembley malam itu, tak sedikit yang menaruh harapan kalau Dortmund bakal menulis ulang kisah Cinderella dengan keluar sebagai juara Liga Champions. Mengangkangi tim kaya raya macam Bayern Munich, Barcelona, ataupun Real Madrid. Tapi apa boleh bikin, seperti kata Shakespeare, harapan adalah akar dari segala kekecewaan. Dan malam itu, kita semua tahu, satu-satunya kisah Cinderella yang ditulis ulang oleh Dortmund hanyalah bagian saat Cinderella disiksa oleh ibu dan saudari-saudari tirinya.

A series of unfortunate event yang menimpa Dortmund musim lalu terasa kian lengkap dengan hengkangnya the prodigy yang selama ini menjadi talisman mereka, Mario Gotze. Ironisnya, lagi-lagi Bayern Munich menjadi pihak yang memancing di air keruh ketika dengan jumawa mengumumkan transfer Gotze, hanya beberapa minggu jelang clash kedua klub di laga final. Jika Chairil Anwar menganalogikan nasib sebagai kesunyian milik masing-masing, saya bayangkan kesunyian yang diterima Dortmund musim lalu tentulah sebenar-benarnya keheningan yang absolut.

Akan tetapi perpisahan ataupun kekalahan seringkali tak melulu tentang akhir yang getir, ataupun ujung jalan yang rawan. Kadang-kadang perpisahan, juga kekalahan, kerap melahirkan a better beginning for deserved ending. Kepergian Gotze, kekalahan yang menyakitkan dari Muenchen musim lalu, boleh jadi memang meninggalkan codet yang perih di jidat segenap punggawa Die Borussen. Tetapi mereka paham betul, bahwasanya hak prerogatif untuk menolak beranjak dari masa lalu hanyalah milik The Script semata. Kegagalan, sepahit apapun itu, haruslah dilupakan selekas-lekasnya, juga secepat-cepatnya.

Maka hukum kekekalan sepakbola kembali berbicara di sini: ada yang pergi, pasti akan ada yang menggantikan. Tiga nama baru merapat ke Signal Iduna Park, menggantikan Gotze, dan juga Moritz Leitner serta Felipe Santana yang hengkang ke klub lain. Henrikh Mkhitaryan, Pierre-Emerick Aubameyang dan Sokratis Papastathopoulos adalah nama-nama yang dipilih Juergen Klopp untuk memperkuat skuatnya musim ini.

Nama pertama—Mkhitaryan—adalah orang yang didaulat Klopp untuk mengisi poros kreatif penyerangan yang ditinggalkan Gotze. Kemampuan umpan dan visi permainannya akan menjadi pendulum yang krusial menentukan kemana arah permainan Dortmund bakal bermuara. Catatan golnya bersama Shakhtar Donetsk musim lalu, yang mencapai angka 29, juga bakal membikin dirinya jadi salah satu pendulang gol yang bisa diandalkan oleh publik Westfallen.

Sementara dua nama lain, Aubameyang dan Sokratis, adalah jawaban untuk mengisi kedalaman skuat Dortmund yang musim lalu nampak setipis pembalut wanita. Terkhusus untuk Aubameyang, tipikalnya yang cepat dan ulet bakal sangat berguna bagi serangan balik "blitzkrieg" terapan Klopp. Ia juga bisa menjadi pelapis yang sepadan bagi Robert Lewandowski kala striker Polandia itu harus absen. Reputasinya sebagai penggedor gawang yang prominen telah terkulminasi lewat raihan podium kedua top skor Ligue 1 musim lalu. Kelak, jika Lewandowski jadi hengkang—mengikuti jejak Gotze—jelas kita semua tahu siapa orang yang akan didapuk Klopp sebagai deputinya.

Dan Juergen Klopp, well, is just being Klopp. Hasil manuvernya di bursa transfer selalu berhasil guna dan tak pernah mengecewakan. Kehilangan Mario Gotze sama sekali tak membikin Dortmund tumpul, pincang, atau apapun yang bersinonim dengan hal tersebut. Mkhitaryan berhasil menambal dengan sempurna ceruk besar yang ditinggal Gotze. Sementara Aubameyang, selepas mencatat hattrick di debutnya yang fenomenal, secara konstan terus menebar ancaman dari lini serang Dortmund saban kali dimainkan.

Dortmund memang masih berada di sana, di tempat yang sama dengan kualitas mereka musim-musim sebelumnya, sekalipun ditinggal pemain sekaliber Mario Gotze. Di kompetisi Bundesliga, Dortmund masih saling sikut dengan Bayern memperebutkan posisi top of the table. Sementara di kompetisi Liga Champions, Die Schwarzgelben masih jumawa memegang tampuk hegemoni Grup F—yang dibaptis sebagai grup neraka—dengan raihan sembilan poin. Terakhir, mereka menumbangkan the in form Arsenal di kandangnya sendiri dengan skor 1-2. Jelas sekali tidak ada imbas atas kepergian Gotze yang tergambar di sana, barang satu zarah sekalipun.

Pada akhirnya, Mario Gotze mungkin memang pernah menjadi dearest dear bagi sebagian besar fans Borussia Dortmund di seluruh dunia. Akan tetapi keputusannya menyeberang ke pelukan musuh saat Dortmund mulai menaruh harapan besar di pundaknya, membuat dirinya nampak seperti Judas yang kepalang kurang ajar. Dengan performa Dortmund yang masih baik-baik saja —kalau tak boleh dibilang impresif— sampai dengan saat ini, kepergian Gotze jelas bukanlah sebuah kisah sedih yang kudu dirayakan dengan senandung kidung-kidung sendu. Sebaliknya, kepergian Gotze mungkin malah lebih layak dikenang sebagai kisah usang dari seorang mantan kekasih yang mudah dilupakan.

Ah, terlalu mudah malah.

Senin, 14 Oktober 2013

Selepas Hujan, di Bawah Langit Senayan


Bagaimana rasanya kembali duduk di tribun Gelora Bung Karno, setelah sekian lama absen, cuma untuk menyaksikan perkara giant killing yang dilakukan timnas sepakbola kita terhadap tim dengan reputasi sebesar Korea Selatan? Tentu saja menyenangkan. Sangat menyenangkan malah. Bahkan walau untuk level timnas yang "hanya" sekelas U19.

Saya sungguh beruntung tengah berada di ibukota pada saat timnas U19, yang melejit sejak sebulan kebelakang, sedang melangsungkan pertandingan kualifikasi menuju Piala Asia U19 tahun depan di Myanmar. Keberuntungan yang semakin terasa menyenangkan karena selain saya akhirnya bisa menyaksikan bandwagon milik anak asuh coach Indra Sjafri secara langsung, mereka juga berhasil meraih kemenangan dan berhak lolos ke putaran final.

Sebuah kemenangan besar, tentu saja. Karena lawan yang dihadapi adalah Korea Selatan, tim dengan kaliber Asia, yang bahkan sudah mulai masuk peta kekuatan sepakbola dunia. Walaupun, sekali lagi, ini diraih hanya dalam level U19.

Dari tribun yang sedikit basah karena tertiup hujan yang turun cukup lebat sejak senja meredup, saya menyaksikan pertandingan kemarin malam bersama adik saya yang antusias—ini pengalaman pertamanya menonton pertandingan di stadion.

Hujan yang kian deras jelang kickoff, membikin beberapa orang yang tadinya duduk di kursi dekat pagar pembatas berlarian naik ke atas. Dan boleh jadi, hujan memang tengah mengukir suasana puitiknya sendiri dalam kemenangan timnas kemarin malam.


Dua puluh lima menit pertama, hujan bertanggung jawab membikin stadion yang konon paling megah di kolong langit negeri ini, tampak seperti petak-petak sawah yang siap panen. Ini menjadi sedikit ironis karena untuk stadion sekelas Gelora Bung Karno pun, sistem drainasenya ternyata masih tergolong di bawah standar. Beberapa titik di lapangan mulai tergenang air dan aliran bola yang coba digulirkan kedua tim kerap kali tersendat karenanya. Kedua tim yang sama-sama fasih bermain dengan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki terlihat sedikit gamang kala bola yang coba mereka kirim gagal mencapai titik tuju yang mereka mau gara-gara dihambat air.

Indonesia bereaksi cepat dalam situasi ini dengan mengganti pola bola pendek menjadi umpan lambung vertikal langsung ke wilayah final third. Ilham Udin yang lepas dari perangkap offside, berhasil mengirim umpan tarik yang tak bisa diintersep center back Korsel walau telah susah payah melakukan split dance ala personil boyband karbitan. Hujan sorak sorai lantas berhamburan saat Evan Dimas menghajar bola tersebut ke sudut tiang dekat. Sebuah momen orgasmik bergemuruh cukup lama di setiap sudut stadion.

Lima menit berselang, ganti hujan lemparan botol yang menghambur di lapangan. Penyebabnya adalah gol penalti Korea Selatan yang dicetak oleh Seol Tsaemu. Usai menaklukan Ravi Murdianto dari titik 12 pas, alih-alih melakukan selebrasi "annyeong haseyo!", Seol malah melakukan gestur provokatif ke tribun barat laut yang memancing teriakan "anying lah sia!" dari para penonton. Andai tidak ada jurang pemisah antara bangku penonton dengan lapangan, saya yakin penonton tak akan segan-segan memugar bedak yang konon luntur di wajah para pemain Korsel dengan botol-botol air mineral.

Setelah gol tersebut kondisi lapangan jadi semakin memprihatinkan, seperti jargon milik presiden kita. Pertandingan dihentikan sekitar setengah jam, menunggu supaya hujan sedikit mereda. Beberapa groundsman kemudian tampak bekerja keras meminmalisir genangan yang membanjir di lapangan dengan pitchfork. Sementara beberapa ofisial AFC mengabadikan lapangan yang tergenang air dengan kameranya. Untuk bahan laporan ke atasan mereka, mungkin.


Pertandingan dimulai kembali setelah hujan berhenti dan genangan di lapangan sedikit berkurang. Hujan yang berhenti mengguyur serta kondisi lapangan yang membaik jadi titik balik bagi Evan Dimas dkk. Seperti pelangi yang baru muncul setelah hujan reda, anak-anak U19 bermain lebih rapi dan terpola di babak kedua.

Menit ke-48, Evan Dimas kembali mengoyak jala Korsel memanfaatkan umpan tarik Maldini Pali yang mengobrak-abrik flank kiri Korsel sebelum mengirim umpan tarik. Penonton kembali kesetanan menyambut gol tersebut. Tentu saja. Siapa pula yang tidak girang kalau kita bisa kembali bikin gol ke gawang tim sekelas Korsel?


Ada pemandangan menarik dalam kemenangan yang diraih Ravi Murdianto cs kemarin malam. Kemenangan kemarin, bukanlah kemenangan buah hasil keberuntungan atau nasib mujur belaka. Ada kejelian penerapan strategi oleh pelatih, serta determinasi dan kedisiplinan pemain dalam menerjemahkan instruksi pelatih yang tergambar jelas di sana. Sebuah hal yang sejujurnya sangat tidak "Indonesia banget".

Tiga gol yang dicetak Indonesia tercipta dari skema yang nyaris serupa. Evan Dimas, yang sepanjang pertandingan tampil setenang biksu Tibet, dengan jeli memanfaatkan ruang kosong yang terselip di antara kuartet backfour Korsel dan dua gelandang bertahan mereka untuk mendapat ruang tembak. Ruang ini tercipta berkat pergerakan tiga pemain depan —Ilham Udin, Maldini Pali dan Mukhlis Hadi— yang berhasil meng-escort defense line Korsel supaya turun terlalu dalam ke kotak penalti mereka. Di sisi lain, dua poros ganda Korsel, Hwang Hee Chan dan Choi Ja Heun, terkonsentrasi di posnya masing-masing karena distraksi yang diberikan Zulfiandi dan Hargianto.

Di sinilah kejeniusan coach Indra Sjafri dalam memainkan strategi kembali terlihat. Sadar lawan punya keunggulan postur, Indra menginstruksikan winger-nya untuk mengirim umpan cutback, alih-alih melepas crossing sekenanya seperti kebiasaan strategi timnas pada umumnya. Saya mencatat ada setidaknya lima kali drill cutback yang dikirim dari sisi sayap. Dan semuanya membahayakan gawang Korsel. Makanya, saat Evan Dimas mencetak gol ketiganya, kita semua tahu kalau mitos tai kucing "Kita kalah postur" adalah sebenar-benarnya alibi atas kekalahan timnas yang sudah selayaknya dimusiumkan saja.

Pertandingan kemarin malam adalah salah satu pertandingan yang tidak akan pernah saya lupakan. Ada adrenalin yang meluap, endorfin yang masih dalam batas kewajaran, juga sedikit rasa tidak percaya saat menyaksikan papan skor yang menggantung di tribun belakang gawang. Walau ini hanya level U19, tengkuk saya merinding hebat jika mengingat momen dimana Evan Dimas mencetak gol ketiganya, juga saat wasit akhirnya meniup peluit panjang yang mengakhiri pertandingan. Mungkin karena sudah terlalu lama dicekoki prestasi timnas yang bapuk bukan buatan, kemenangan anak-anak U19 dua malam yang lalu sudah terasa menyenangkan betul.

Entah berapa kali saya menengadahkan kepala ke atas malam itu. Dua mata saya menerawang, menyaksikan langit Jakarta yang untuk kesekian kalinya masih kosong tanpa bintang, untuk kemudian sadar kalau kejadian yang ada di depan mata saya kemarin malam bukanlah halusinasi yang muncul akibat menenggak jamur kancing banyak-banyak. Kemarin malam, boleh jadi memang tidak ada bintang ataupun pelangi yang melengkung di langit Senayan selepas hujan deras yang mengguyur sejak senja turun. Akan tetapi melihat papan skor yang menunjukkan angka 3-2 untuk kemenangan Indonesia terasa lebih indah daripada melihat pelangi atau bintang apapun yang kini mulai jarang muncul di langit Jakarta.

Terima kasih, coach Indra Sjafri!

Sabtu, 28 September 2013

Manchester United Tak Akan Memenangkan Apapun Musim Ini


Saya membuat banyak dosa ketika menyaksikan pertandingan Manchester United melawan West Bromwich Albion semalam (28/9). Bagaimana tidak, saban kali United kehilangan bola, saya dibuat misuh-misuh dan mengumpat kata-kata kotor karena tak ada satu pun pemain yang melakukan pressing terhadap pemain lawan dengan benar.

Lini tengah United tadi malam tampak seperti kota mati. Tidak ada pressing yang mumpuni dari lini tengah United membuat pemain West Brom berlarian anarkis di wilayah pertahanan mereka seperti anak kecil yang baru pertama kali mengunjungi amusement park. Michael Carrick dan Anderson yang jadi poros ganda di lini tengah, cuma bisa berlari-lari kecil mendekati pemain lawan yang memegang bola di dekat mereka, seolah-olah kaki mereka sedang dibebat dengan jangkar seberat 100 kg.

Pressing yang butut dari para gelandang, semakin membuat pertahanan United tampak seperti penderita anemia yang baru siuman dari pingsan. Rio Ferdinand begitu mudah dilewati oleh Morgan Amalfitano dan Saido Berahino seolah-olah ia hanyalah manekin selamat datang di pusat perbelanjaan yang sedang mengadakan sale akhir tahun. Dua gol yang dicetak West Brom semalam, semuanya bermuara dari kesalahan Ferdinand dalam melakukan man marking.

Sial bagi Unted, karena pemain bertahan mereka yang lain melakukan aksi solidaritas dengan tampil tak kalah medioker dibanding Ferdinand. Phil Jones dan Alex Buttner yang mengawal sisi sayap sama-sama tampil shaky baik dalam bertahan maupun membantu serangan. Sementara Jonny Evans, well, just being Jonny Evans: ceroboh dalam melakukan positioning dan kikuk kala bertahan. It's totally a bad day at the office untuk pertahanan United, dan David Moyes tak punya pilihan lain sebab hanya Patrice Evra seorang satu-satunya pemain berposisi defender yang ia bawa di bench.

Pertahanan United yang babak belur dan buruk rupa menjadi sedikit ironis karena selama ini Moyes dikenal sebagai pelatih yang bertanggung jawab atas pertahanan Everton yang solid dan berdeterminasi tinggi. Pertandingan semalam menunjukkan kalau satu-satunya warisan taktik Everton yang sukses ia aplikasikan ke United adalah kemandulan yang mendera para striker. Dalam lima pertandingan terakhir United di EPL, mereka cuma mampu mengemas 4 gol yang kesemuanya berasal dari bola mati. Termasuk gol Wayne Rooney semalam, yang lagi-lagi dicetak melalui tendangan bebas.

Saya tak habis pikir kenapa Moyes justru menarik keluar Shinji Kagawa di babak kedua, alih-alih Anderson yang tampil abysmal. Padahal, Kagawa adalah pemain yang bisa memberikan kreatifitas yang dibutuhkan lini tengah United. Satu-satunya alasan kenapa ia kurang begitu eksplosif adalah karena ia ditempatkan di flank kiri, bukan gelandang serang yang diberi kebebasan untuk mengalirkan bola serta merangsek ke dalam kotak penalti lawan. Untuk alasan yang satu ini, rasa-rasanya kampanye #FreeShinji yang belakangan mulai marak bergaung di twitter layak untuk mendapat dukungan.

Tak adanya suplai killer pass ataupun defence splitting pass dari lini tengah membuat serangan United tampak sangat purba dan begitu mudah ditebak pasca keluarnya Kagawa. Serangan United terlihat monodimensional karena hampir dapat dipastikan mereka akan mengarahkan setiap serangannya ke sisi sayap. Kemudian winger-winger mereka yang payah akan berusaha melewati pemain lawan, melepas crossing sekenanya ke kotak penalti, berharap bek-bek West Brom membiarkan bola lewat begitu saja di atas kepala mereka, kemudian.... Jebret!! United mencetak gol.

Sebuah formula mencetak gol yang sangat naif bukan?

Jika United tak segera berbenah, sebaiknya mereka jangan dulu berbicara kans mempertahankan gelar juara EPL apalagi sampai muluk-muluk membayangkan indahnya mereguk trofi Liga Champions. Yang ada malah mereka harus mulai membiasakan diri mengalami kekalahan dari tim-tim non-unggulan seperti semalam. Saya bukan orang yang suka mendoakan orang lain supaya tertimpa keburukan, tapi penampilan medioker United semalam membuat saya semakin yakin kalau Manchester United tak akan memenangkan gelar apapun musim ini.

Yah, kecuali kalau gelar Community Shield tempo hari dianggap sebagai gelar yang prestisius.

Senin, 29 Juli 2013

Hari Raya, Pemain Sepakbola, dan Status Facebook Mereka


Hari raya Idul Fitri akan segera tiba, dan seluruh dunia pun tengah bersiap menyambut kedatangannya. Tak terkecuali dengan para insan sepakbola yang budiman dan rajin berdandan. Mereka —baik yang menganut ajaran Islam maupun tidak— sama-sama antusias menyambut datangnya hari akbar yang maha suci ini.

Atas nama eksistensi di dunia maya, pencitraan diri yang mumpuni, serta toleransi antar umat beragama, tak sedikit dari mereka yang mem-posting antusiasme mereka dalam menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri, melalui akun Facebook mereka. Dan berikut ini adalah beberapa di antaranya, sebagaimana kami kutip langsung dari sumbernya, tanpa tedeng aling-aling:


Papiss Demba Cisse - Newcastle United / Senegal
Sebenernya ogut ogah make itu kostum Newcastle yang sponsornya dari uang riba'. Astaghfirullah, dosa besar itu. Tapi berhubung udah mau lebaran, yaudah ogut mau sedikit memaafkan dan legowo buat make kostum "haram" itu. Lagian kalo dipecat pas mau lebaran gini kan repot juga, THR-nya Inem sama Mang Ujang siapa yang bayar? Ogut nggak mau dianggep majikan yang dzalim.

Frederic Kanoute - Beijing Guoan / Mali
Ane baru tau beritanya Papiss Cisse yang kagak mau make jersey-nya Newcastle gegara sponsornya dari uang riba'. Cih, pasti dia ikut-ikutan kelakuan ane waktu di Sevilla dulu. Dasar plastik kolak! Basi tau nggak?! Madingnya udah mau terbit!

(Astaghfirullah ane kan lagi puasa, kenapa marah-marah begini...)

Demba Ba - Chelsea / Senegal
Duh, lebaran tahun ini ogut sholat Ied' di mana ya? Tahun kemarin sih enak, masih bisa sholat Ied' barengan Papiss di musholla deket St. James Park. Lah kalo di sini ane bukannya dapet temen jama'ah malah diajakin John Terry nyatronin bini temennya. Bahlul bener emang si bandot tua. Ogut sembelih juga lama-lama.

Samir Nasri - Manchester City / Perancis
Lebaran taon ini kayaknya gua kagak bisa selebrasi gol pake tulisan "Eid Mubarak" lagi deh. Yakali selebrasi, orang gua aja kagak pernah dipasang jadi starter sama pelatih. Tapipak, apa gua selebrasinya waktu ngegolin di latihan pemanasan aja kali ya? Yang penting kan Happy Eid Mubarak. Gitu?

Eric Abidal - AS. Monaco / Perancis
Astaghfirullah, orang-orang di Monaco ini, padahal udah masuk 10 malam terakhir Ramadhan. Bukannya pada i'tikaf di masjid, malah pada main judi sampe imsak, sambil cengengesan kayak orang mabok. Sahurnya pada minum khmer, ngabuburitnya mainan gaple. Mrakbal ente, kalo kata bang Madit Musyawaroh.

Ilkay Gundogan - Borussia Dortmund / Jerman
Lagi puasa begini tenggorokan jadi makin seret kalo keseringan dipake ngobrol sama temen-temen di Dortmund. Lo pikir aja sendiri gimana rasanya tenggorokan waktu nyebut nama-nama macem Jakub Blazcykowski, Kevin Grosskreutz, Pierre-Emerick Aubameyang, Lukasz Piszczek, Henrikh Mkhitaryan, Robert Lewandowski, sama Marcell Schmelzer. Nggak sekalian Lossjgmhbkvh Fajldnljgnvjdpkckckcz Klprnofjzczcdy, atau Porteyvnlsbvjkscm Autrnjldmvnvic aja?!

Tenggorokan gua jadi rengat-rengat stadium tiga nih. Untung banget masih ada Marco Reus sama Nuri Sahin di sini. Elhamdoulillah, ya Allah.

Steven Gerrard - Liverpool / Inggris
Akhirnya keinginan gue buat dapet medali sama piala lagi kesampaian juga pas tur pra-musim di Indonesia kemarin. Ini baru yang namanya berkah Ramadhan. Bakalan gue simpen baik-baik deh ini medali. Allahuakbar!

Bambang Pamungkas - Tanpa klub / Indonesia
Selamat Hari Raya kepada rekan-rekan sekalian. Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Utamanya kepada mereka yang merasa terganggu karena akun twitter @bepe20 menjadi spammer link dari portal berita olahraga. Sejujurnya, saya pun terganggu akan hal tersebut. Tetapi demi selalu tersedianya oseng pare dan sambel goreng ati dari dapur saya, saya harap kalian dapat memakluminya, hehehe.

Kurnia Meiga - Arema / Indonesia
Mari lebaran taun iki ayas pengen tobat temenan. Rajin sholat, rajin ngaji, karo nabung dinggo munggah haji. Yok opo seh main bal-balan ping telu wae iso sampek kebobolan 17 gol. Tobat, Cak!

(bagi yang tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Kurnia Meiga, silahkan cari sendiri terjemahannya)

David Moyes - Manchester United / Skotlandia
Akhirnya bulan puasa udah kelar, tim gua bisa jadi jagoan lagi. Dasar orang-orang bego yang bikin hashtag #MoyesOut gara-gara hasil pre-season MU kemarin bapuk sejak dalam pikiran. Namanya juga bulan puasa, setan-setan kan pada dibelenggu dan dirantai, makanya mainnya jelek. Sekarang waktunya balas dendam sudah tiba. Unleash the Kaiju! #MoyesIn

Arsene Wenger - Arsenal / Perancis
Orang-orang muslim puasanya udah pada kelar ya? kagak ada toleransinya sedikit gitu kek sama klub gua yang udah delapan tahun puasa gelar? Kapan lebarannya nih tim gua, hilal-nya aja nggak pernah keliatan. Syuraaamm.

Robin van Persie - Manchester United / Belanda
Siap-siap ke JNE mau kirim parsel lebaran buat Sagna sama Diaby di Ashburton Grove. Sekalian aja gue selipin brosur "Glory Hunter" dari klub gue yang sekarang. Kali aja mereka jadi inget lagi sama nasehatnya Eyang Pramoedya waktu kita ikutan Porseni dulu: "Orang boleh jago main bola setinggi langit, tapi selama ia tidak pernah jadi juara, niscaya ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."


(fin.)

Rabu, 13 Maret 2013

Jan Vertonghen, dan Musim Perdana yang Gemilang di London Utara


White Hart Lane, 7 Maret 2013.

Totenham Hotspur tengah menjamu tamunya yang datang jauh-jauh dari peninsula Italia, Inter Milan, dalam first leg lanjutan Europa League, fase 16 besar. Memasuki menit ke 56' pertandingan, Tottenham yang sudah di atas angin berkat gol cepat Gareth Bale dan poacher's effort dari Gylfi Sigurdsson, kembali mendapat peluang emas melalui set-piece tendangan penjuru. Gareth Bale, yang sepanjang jalannya pertandingan merajalela dan membuat pertahanan Inter kalang kabut, bertugas mengambil tendangan tersebut.

Lengkungan parabolik segera dikirim Bale ke dalam kotak 16 meter. Dan beberapa detik setelahnya, bola yang melayang di antara Esteban Cambiasso dan Cristian Chivu, tiba-tiba saja ditanduk masuk oleh seorang pemain Spurs yang datang dari blind side. Gol, dan skor pun berubah menjadi 3 - 0, hanya untuk membikin Javier Zanetti menghela nafas panjang dan sedikit mendapat pencerahan perihal kapan waktu yang tepat baginya untuk gantung sepatu.

Beberapa hari sebelumnya, masih di White Hart Lane juga, pemain yang sama adalah orang yang layak bertanggungjawab atas deformasi hulu ledak meriam-meriam Arsenal yang berubah menjadi serentengan kembang api mejan. Menguasai ball possession dan alur serangan sejak awal pertandingan, sepakbola indah a la The Arsenal Way seakan-akan terhambat traffic jam yang menyebalkan saban memasuki area  final third.

Dalam pertandingan yang berakhir dengan kemenangan 2 -1 untuk The Lilywhites itu, tercatat setidaknya dua kali si pemain melakukan last ditch takcle yang  membuyarkan momentum Arsenal untuk membahayakan gawang Hugo Lloris. Sosoknya terlihat begitu instrumental dalam menggalang harmonisasi high defensive line yang diterapkan Andre Villas-Boas, sehingga mengganjarnya dengan gelar man of the match di akhir laga.

Dan pada dua laga tersebut, selain dua kemenangan akbar yang berhasil diraih The Lilywhites, kita juga disuguhi sebuah highlight tentang musim debut yang gemilang milik seorang Jan Vertonghen, defender kelahiran 24 April 1987, yang sedang kita bicarakan sedari tadi.

Musim ini Gareth Bale boleh saja ditahbiskan sebagai talisman paling keramat bagi Tottenham Hotspur, berkat gol-golnya yang begitu krusial. Tapi jika anda mengesampingkan keberadaan Jan Vertonghen sebagai salah satu pilar paling penting di balik performa mengkilap Spurs di bawah kepemimpinan Andre Villas-Boas, anda jelas tidak termasuk ke dalam golongan manusia yang adil sejak dalam pikiran, sebagaimana telah difatwakan oleh Pramoedya Ananta Toer.

Pensiunnya Ledley King di akhir musim lalu, semakin rentanya William Gallas, serta terlalu kerapnya dua bek utama mereka, Michael Dawson dan Younnes Kaboul, wara-wiri ke ruang perawatan akibat mengalami cedera, membuat Spurs mau tak mau harus segera melakukan reformasi di lini pertahanan mereka dengan mendatangkan personil anyar. Dan Daniel Levy, pakar bisnis yang punya rekam jejak bernas dalam manuver transfer pemain, paham betul dengan apa yang dibutuhkan timnya dengan mendaratkan Vertonghen ke White Hart Lane.


Statistik musim ini mencatat bahwa Vertonghen adalah defender yang klinis dan komplit. Rataan 81% tackle win, 64% aerial duel win, dan 66% ground duel won miliknya memang bukan yang terbaik di antara defender-defender Premier League lainnya, tapi angka tersebut sudah cukup untuk menempatkan Vertonghen konsisten berada di jajaran empat besar pemilik statistik defensive terbaik di Liga Inggris. Ini belum jika ikut menghitung rataan 3,1 intersep per pertandingan miliknya, yang hanya kalah dari rataan 3,3 intersep milik Chico Flores.

Ketenangan dan konsentrasi Vertonghen di lini belakang juga tergolong baik dimana ia tercatat hanya sekali membikin defensive error yang membahayakan timnya, tanpa pernah sekalipun membuat gol bunuh diri. Bandingkan dengan kompatriotnya di timnas Belgia, Thomas Vermaelen, yang telah melakukan 4 kali error, dengan tiga diantaranya berujung dengan bobolnya gawang Arsenal.

Vertonghen juga tergolong pemain yang produktif, untuk ukuran bek. Sampai dengan pekan ke-29 Premier League musim ini, ia sudah mengemas tiga gol, seimbang dengan jumlah gol milik striker ternama macam Jay Rodriguez, Gervinho, ataupun Andy Carroll (tolong jangan tertawakan mereka, hahaha). Ini bukan sesuatu yang mengejutkan sebenarnya, mengingat pada musim kemarin, ia sanggup membukukan 10 gol bersama Ajax Amsterdam.

Dari segi taktik, keberadaan Vertonghen di jantung pertahanan Spurs juga bukan sesuatu yang mubazir, kalau tak boleh dibilang sangat bermanfaat. Dalam skema backfour milik AVB, yang memancang garis pertahanan relatif tinggi, keberadaan bek dengan kondisi fisik prima, mampu beradu lari dengan sprinter tim lawan, memiliki positioning yang baik, serta prominen dalam melakukan tackle adalah sesuatu yang fardhu 'ain hukumnya. Dan penampilan Vertonghen kala menghadapi Arsenal pekan lalu, menunjukan kalau ia adalah juru selamat yang dibutuhkan Villas-Boas.

Apalagi jika mengingat Vertonghen adalah pemain yang versatile. Selain tangguh ditempatkan sebagai centre-half, dirinya juga terkenal piawai kala ditempatkan sebagai fullback kiri dan gelandang bertahan.

Musim ini ia sempat beberapa kali dimainkan sebagai bek kiri oleh AVB, ketika badai cedera datang menghantam Benoit Assou-Ekotto dan Kyle Naughton. Hasilnya tidak buruk-buruk amat. Ia bahkan sempat membikin Jonny Evans terlihat bodoh kala membelokkan tendangan kerasnya ke gawang David De Gea, saat bersua Manchester United di Old Trafford.

Atas segala catatan positif di atas, tentu bukan sesuatu yang musykil jika kita menyebut kalau mantan kapten Ajax Amsterdam ini tengah menjalani musim debut yang gemilang di London Utara. Keputusannya menolak tawaran Arsene Wenger untuk bergabung dalam organisasi kepemudaan Ashburton Grove, dan bersekutu dengan The Lilywhites, barangkali adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah dibuatnya dalam hidup.

Kelak, di akhir musim nanti, saat Tottenham berhasil mengamankan tiket untuk berkompetisi di Liga Champions, kita tahu bukan hanya Gareth Bale seorang yang pantas dielu-elukan namanya oleh para pegiat #COYS. Ada seorang Jan Vertonghen, yang juga layak mendapat applause dari segenap pendukung Spurs di seluruh dunia.

Dan beberapa kilometer dari White Hart Lane, tampak sosok Arsene Wenger sedang mengemasi pernak-pernik yang sudah disiapkan untuk merayakan hari raya St.Totteringham Day, ke dalam kardus dengan wajah masgul.

Eh, itu juga kalau dia belum dipecat sampai akhir musim.

Senin, 14 Januari 2013

Il Faraone Furioso


Muda, berbakat, dan berambut nyeleneh. Sepertinya itulah pendeskripsian yang cukup akurat untuk menggambarkan rising star milik AC Milan: Stephan El Shaarawy. Rambutnya yang seperti landak itu memang kelampau nyeni untuk ukuran pemain sepakbola. Sampai-sampai, seandainya ada award untuk pemain sepakbola dengan model rambut paling anti mainstream, barangkali El Sharaawy akan menjadi salah satu nominee-nya, bersaing ketat dengan Carlos Valderrama, Joleon Lescott, ataupun Taribo West.

Tapi kita tidak perlu berlarut-larut mengurusi seperti apa model rambut El Sharaawy seharusnya. Sebab kali ini, kita tidak sedang membahas rambut-rambut tajam milik El Shaarawy. Kita sedang membicarakan bagian lain dari El Shaarawy yang juga tak kalah tajam: finishing touch-nya. Ability yang sejauh ini berhasil mengantarkannya sebagai capocanonieri sementara Milan di Serie A, dengan torehan 14 gol.

Mencuatnya El Shaarawy sebagai talisman termutakhir milik AC Milan sejatinya tak semengejutkan penunjukkan Roy Suryo sebagai Menpora. Talenta besarnya sudah lama jadi buah bibir di kalangan media Italia — Shaarawy adalah pemain termuda keempat yang melakukan debut Serie A dengan usia 16 tahun 55 hari — sejak dua tahun lalu. Tapi menilik kiprahnya musim lalu, rasa-rasanya hanya sedikit orang yang berani bertaruh kalau The Little Pharaoh, begitu ia biasa dijuluki oleh Milianisti, akan bersinar terang dan mencetak banyak gol musim ini.

Petualangan El Shaarawy musim lalu sebetulnya tak bisa dibilang buruk. Sebagai pemain muda yang minim pengalaman di tim besar, Sharaawy berhasil mencetak empat gol dari 28 kali penampilannya bersama Rossoneri — mayoritas dengan turun sebagai pemain pengganti. Tapi, siapa yang bakal menyangka kalau dia akan meledak di musim ini, bahkan menjadi prima punta mematikan dengan torehan gol yang mampu bersaing dengan striker-striker kawakan Serie A macam Edinson Cavani atau Antonio Di Natale? Mari bertanya pada Massimo Ambrosini, Il Capitano AC Milan, yang beberapa waktu lalu kalah bertaruh menyoal jumlah gol yang akan dicetak El Shaarawy pada musim ini.

Di awal musim, Ambrosini memberi tantangan kepada Il Faraone apabila dirinya berhasil mencetak tujuh gol sebelum natal, Ambro akan mentraktir liburan musim panas El Shaarawy ke salah satu pegunungan di Italia. "If you score seven goals before Christmas, I will pay for your holidays," katanya waktu itu. Challenge Accepted, dan entah kebetulan atau tidak, El Sharaawy jadi rajin mencetak gol setelahnya.

Mulai dari cannonball ke gawang Udinese yang membuka rekening golnya, doppietta saat bersua Cagliari, dan berturut-turut setelahnya gawang Parma, Zenit St. Petersburg, Lazio, dan Genoa yang dijebol El Shaarawy, telah membuat dirinya berhasil mengerek laju Milan di pelbagai kompetisi serta mencapai target yang dipatok Ambrosini, bahkan sebelum Oktober berakhir. 

Tak ingin kalah dengan mudah, Ambrosini kemudian menaikkan betting limits-nya menjadi sepuluh gol, dengan iming-iming berupa liburan ke Kepulauan Karibia bagi Il Faraone. Gayung bersambut, dan hanya butuh satu bulan bagi dirinya untuk kembali membuat Ambrosini tepekur sekaligus tersenyum. Adalah getaran jala Palermo, Chievo, serta brace ke gawang Napoli lah yang memberi garansi bagi El Shaarawy agar bisa membuat kicauan semodel "Touchdown Carribean!" melalui akun twitter-nya pada Juni mendatang.

Perlahan tapi pasti, El Shaarawy mulai menapaki jalannya menuju bintang utama AC Milan. Total golnya yang sudah mencapai agka 17 di segala ajang, menyumbang sekitar 40% dari jumlah gol Milan, telah membawanya jadi semacam Robin van Persie-nya AC Milan. Dengan  labilnya penampilan attacante Milan lainnya, semisal Bojan Krkic dan Giampaolo Pazzini, otomatis hanya El Shaarawy lah satu-satunya striker yang bisa diandalkan Milan untuk jadi juru gedor saat ini. Belum lagi jika menghitung hengkangnya Alexandre Pato ke Corinthians pada winter break kemarin, urgensi Si Pharaoh Kecil jadi makin kentara di sana.

AC Milan memang tengah berada dalam masa transisi di musim ini. Hengkangnya bintang-bintang mapan dan veteran tak ubahnya proses meranggas yang melanda pepohonan pada musim kemarau. Dari mulai Zlatan Ibrahimovic, Andrea Pirlo, Thiago Silva, Pippo Inzaghi hingga Alessandro Nesta, adalah nama-nama yang mengantar Il Diavolo Rosso jadi kampiun Serie-A pada musim 2011/2012 namun sudah tak lagi jadi bagian mereka di musim ini. 

Kita sama-sama tahu, cepat atau lambat, dengan makin senjanya usia pemain-pemain veteran Milan dan kian kempisnya isi dompet Silvio Berlusconi yang dianggarkan untuk Milan, transisi ini memang bakal kejadian. Dan kita juga tahu, tak selamanya transisi bisa berjalan dengan mulus. Tapi selama El Shaarawy masih meneruskan performa gemilangnya, para fans Milan seharusnya tak perlu khawatir secara berlebihan soal masa depan klub kesayangannya. Sebab mereka, kini punya andalan baru yang siap mengemban tugas untuk memastikan transisi yang dijalani Milan tidak berlangsung dengan banal. Seorang pemain, yang kelak akan didengung-dengungkan namanya di seantero stadion, saban kali Milan bertanding.

Brace yourself, Il Faraone Furioso is coming!

Sabtu, 12 Januari 2013

Alternatif Tim Terbaik Dunia 2012, yang Tak Melulu dari La Liga


FIFA baru saja merilis sebelas nama pemain sepakbola yang, menurut mereka, paling pantas untuk mengisi daftar line-up tim terbaik dunia untuk tahun 2012. Dari sebelas nama yang mereka rilis, sulit rasanya untuk menyangkal bahwa pilihan mereka adalah pemain yang memang tampil gemilang di posisinya masing-masing sepanjang tahun 2012. Nama-nama seperti Lionel Messi, Radamel Falcao, Cristiano Ronaldo, Sergio Ramos, hingga Iker Casillas adalah sosok-sosok bertalenta tinggi yang memang pantas untuk mengisi daftar tersebut.

Satu yang sedikit membikin kita mengernyitkan dahi kala melihat daftar rilisan FIFA tersebut, barangkali, adalah fakta bahwa dari sebelas pemain tersebut, kesemuanya adalah pemain-pemain yang berkiprah di La Liga. Tidak ada yang berasal dari Premier League, Bundeslliga, Serie A, apalagi dari Liga Islandia. Bahkan, jika ditilik lebih spesifik lagi, sepuluh dari sebelas pemain tersebut, adalah jugador yang berasal dari dua kutub sepakbola Spanyol belaka : Barcelona dan Real Madrid. Hanya menyisakan Radamel Falcao seorang sebagai satu-satunya hipster, yang tak berasal dari golongan kaum classico.

Anda boleh saja sepakat, anda boleh saja mengkritik. Sebab pro dan kontra, memang sesuatu yang lumrah di dunia ini. Tapi untuk sekedar bersenang-senang, TPFC meluangkan waktunya untuk membikin daftar sebelas pemain, di luar pilihan FIFA, yang juga layak untuk diberi label terbaik di posisinya masing-masing. Hitung-hitung sebagai alternatif tim terbaik dunia, bagi mereka-mereka yang menganggap para panelis dari FIFA hanya menonton pertandingan sepakbola ketika laga El-Classico mentas saja. 

So, here they are with a 4-3-3 formation :

GK - Gianluigi Buffon - Italy / Juventus
Iker Casillas dan gelar kiper terbaik dunia memang sebuah keniscayaan untuk saat ini. Tapi penampilan Gianluigi Buffon di bawah mistar sepanjang 2012 juga bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Juventus diantarnya meraih scudetto tanpa pernah merasakan kekalahan sekalipun. Jumlah bola yang bersarang di gawangnya dalam semusim kompetisi Serie A pada musim lalu pun, tak kalah minim daripada kapasitas seorang Roy Suryo kala ditunjuk sebagai Menpora, hanya 16 gol. Ia juga turut andil membawa Gli Azzuri lolos ke final Piala Eropa 2012, sebelum akhirnya tumbang oleh Spanyol di partai puncak.

RB - Lukas Piszczek - Poland / Borussia Dortmund
Meraih gelar juara Bundesliga secara back-to-back bersama Borussia Dortmund, sekaligus (kembali) membikin Bayern Munich harus puas hanya jadi runner-up, barangkali tidak cukup untuk menjustifikasi seorang Lukas Piszczek sebagai seorang bek kanan yang brilian. Pergerakannya yang liat kala overlap, plus kemampuan mumpuninya dalam bertahan, membuatnya jadi salah satu pemain yang paling fasih memerankan role sebagai fullback modern. Empat gol dan tujuh assist, berbanding perolehan satu kartu kuning di sepanjang musim lalu adalah bukti sahih kehebatannya, sekaligus membuat kita jadi bertanya-tanya, merek rokok apa yang dihisap panelis FIFA kala memilih Dani Alves sebagai bek kanan di tim terbaik dunia 2012.

CB - Vincent Kompany - Belgium / Manchester City
Manchester City sejak dulu terkenal dengan pertahanan mereka yang rentan ditembus, bak tulang manusia yang terkena osteoporosis. Tapi musim lalu anomali terjadi. Mencetak gol ke gawang City adalah sebuah hal yang tak pernah mudah, bahkan untuk tim sekelas Manchester United sekalipun. Dan Vincent Kompany adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut. Penampilannya yang lugas dan cermat dalam mengantisipasi serangan lawan, adalah salah satu kunci yang mengantar The Citizen berhasil menggondol mahkota juara Premier League musim lalu. Satu golnya ke gawang United dalam laga derby, adalah momen yang jadi tonggak kebangkitan City dalam mengejar defisit poin dari United.

CB - Jan Vertonghen - Belgium / Ajax Amsterdam = Tottenham Hotspur
Memasukkan Vertonghen ke dalam formasi tim terbaik dunia barangkali sedikit debatable. Ia tidak tampil di panggung Euro karena Belgia memang tidak sanggup lolos dari fase kualifikasi. Lain dari itu, Vertonghen juga hanya bermain di kompetisi Eredivisie yang kualitas persaingannya tak semengkilap Premier League, La Liga, ataupun Serie A. Makanya, gelar juara yang diraihnya bersama Ajax  musim lalu tak bisa dibilang cukup mentereng untuk dimasukkan ke dalam curiculum vitae. Tapi yang bagus harus tetap dinilai bagus, dan musim lalu, penampilan Vertonghen memang prolific dalam menggalang pertahanan De Godenzonen. Total 42 caps dengan catatan 10 gol di sepanjang musim lalu, sama sekali bukan catatan yang buruk untuk seorang bek tengah.

LB - Phillip Lahm - Germany / Bayern Munich
2012 barangkali bukan tahun yang ingin dikenang oleh Phillip Lahm. Mengapteni Bayern Munich dan tim nasional Jerman, Lahm harus puas tak meraih satu gelar juara pun pada musim lalu. FC Hollywood hanya mampu diantarnya jadi runner-up di segala ajang yang diikutinya. Sementara bersama Die Nationalmanschaft, Lahm hanya sanggup bertahan sampai fase semifinal. Meskipun demikian, harus diakui, Lahm adalah salah satu performer yang paling konsisten penampilannya musim lalu. Bahkan meski kerap bolak-balik berganti posisi antara menjadi bek kanan atau bek kiri.

DM - Sergio Busquets - Spain / Barcelona
Seperti kata Pangeran Siahaan dalam tulisannya, kebanyakan orang-orang memang hanya mampu mengingat Sergio Busquets atas kelakuan-kelakuan tidak terpujinya saja. Padahal, Busquets adalah instrumen penting bagi permainan tiki-taka milik Barcelona, yang kemudian juga turut diduplikasi oleh Vicente Del Bosque di timnas Spanyol. Golden Triangle-nya bersama Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, adalah jaminan atas penguasaan ball possesion di lapangan tengah, tak peduli siapapun lawan yang dihadapi. Selain kembali meraih juara Piala Eropa bersama Spanyol, salah satu highlight istimewa dalam perjalanan Busquets musim lalu adalah ketika dirinya dimainkan pada posisi hibrida half back oleh Pep Guardiola.

CM - Andrea Pirlo - Italy / Juventus
Andrea Pirlo adalah filsuf ranah sepakbola. Umpan-umpan akuratnya adalah upaya dekonstruksi paling menakutkan bagi teori bertahan milik tim manapun. Usianya yang kian senja, hal yang membuat Milan melepasnya ke Juventus dengan status free transfer, nyatanya tak mampu membatasi talenta brilian yang bersemayam dalam dirinya. Justru dengan usia yang makin menua, Pirlo semakin menjadi-jadi. Tak ubahnya sebotol wine yang makin nikmat untuk ditenggak bila semakin berumur. Gelar juara Serie A bersama Juventus dalam rekor unbeaten semusim, plus menapak laga final Euro adalah torehan yang dicapainya sepanjang musim lalu. Oh, jangan lupakan juga soal Panenka's chip-nya ke gawang Joe Hart. Pure class effin a!

CM - Yaya Toure - Ivory Coast / Manchester City
Simak dengan cermat seluruh pertandingan Manchester City musim lalu dimana Yaya Toure dimainkan, dan anda akan menemukan similaritas antara orang keturunan Cina dengan seorang Yaya Toure: mereka sama-sama ada di mana-mana. Physical presence-nya yang beringas, akurasi umpan dan tembakan yang prominen, serta stok stamina yang seolah tak habis-habis, membuat Toure punya segala hal yang dibutuhkan seorang box-to-box midfielder untuk menyelusuri tiap inci lapangan guna memperebutkan bola. Keberadannya di posisi 9 dalam 100 pemain terbaik dunia versi situs Guardian, rasa-rasanya bukan sebuah hal yang keliru.

ST - Edinson Cavani - Uruguay / Napoli
Di tengah eksodus beberapa pemain besar yang melanda Serie A beberapa tahun belakangan, Edinson Cavani justru menemukan masa-masa kejayaannya di Naples. Napoli, bersama Marek Hamsik dan Ezequiel Lavezzi, dibawanya jadi poros kekuatan baru Serie A dengan menjuarai Coppa Italia dan lolos dari fase grup Liga Champions. Total 33 golnya musim lalu membuat tatanan rambut gondrongnya yang selalu acak-acakan itu bisa sedikit dimaafkan.

ST - Robert Lewandowski - Poland / Borussia Dortmund
Sejak kepergian Jan Koller bertahun-tahun lalu, lini depan Dortmund tidak pernah sama lagi. Pemain-pemain datang dan pergi, tapi tak satupun berhasil membawa garansi bagi tajamnya penyerangan Die Schwarzgelben. Sampai kemudian Robert Lewandowski datang dan membawa perubahan. Total 59 gol yang dicetaknya selama 3 musim berkostum Dortmund membuatnya jadi talisman baru bagi Dortmund. Musim lalu adalah musim terbaiknya dimana Ia mencetak 30 gol untuk membawa Dortmund jadi kampiun Bundesliga dan DFB Pokal. Dan sejak saat itulah, Doing a Lewy menjadi frasa baru yang jamak digunakan oleh para fans Dortmund sebagai padanan kata untuk "mencetak gol".

ST - Robin van Persie - Holland / Arsenal = Manchester United
Mencetak 34 gol musim lalu bagi Arsenal dan kini 20 gol, hingga paruh musim, bagi Manchester United sudah cukup menceritakan kualitas dari Robin van Persie. Chant dari suporter yang berbunyi: "He scores when he wants" memang selayaknya tersemat untuk seorang RVP. Because he really fuckin' scores, when he wants.

Through Pass for Chicharito alternative Best XI 2012

* Honorable Mentions :

GK - Petr Cech - Czech Republic / Chelsea
CB - Thiago Silva - Brazil / AC Milan = Paris Saint Germain
AMF - Mesut Oezil - Germany / Real Madrid
CF - Mario Gomez - Germany / Bayern Munich