Laman

Rabu, 30 Oktober 2013

Setelah Mario Gotze Tak Ada Lagi


Borussia Dortmund musim lalu adalah sebuah anti-klimaks. Bandwagon mereka yang melesat dengan meriah serta menjadi persinggahan baru bagi para hipster sepakbola dadakan, pada akhirnya malah bersemuka dengan akhir yang getir: dikalahkan Bayern Munich—musuh bebuyutan mereka—dalam dua kompetisi akbar sekaligus.

Selisih mencolok sampai dengan 25 poin di klasemen akhir Bundesliga musim lalu, serta gol kemenangan dari Arjen Robben pada final Liga Champions yang dihelat di Wembley, menghukum Dortmund dengan menapaktilasi jejak milik Bayern Munich semusim sebelumnya: mendapat gelar kehormatan sebagai tim yang hanya "nyaris juara".

Padahal, sampai dengan sebelum Niccola Rizzoli meniup peluit panjang di Wembley malam itu, tak sedikit yang menaruh harapan kalau Dortmund bakal menulis ulang kisah Cinderella dengan keluar sebagai juara Liga Champions. Mengangkangi tim kaya raya macam Bayern Munich, Barcelona, ataupun Real Madrid. Tapi apa boleh bikin, seperti kata Shakespeare, harapan adalah akar dari segala kekecewaan. Dan malam itu, kita semua tahu, satu-satunya kisah Cinderella yang ditulis ulang oleh Dortmund hanyalah bagian saat Cinderella disiksa oleh ibu dan saudari-saudari tirinya.

A series of unfortunate event yang menimpa Dortmund musim lalu terasa kian lengkap dengan hengkangnya the prodigy yang selama ini menjadi talisman mereka, Mario Gotze. Ironisnya, lagi-lagi Bayern Munich menjadi pihak yang memancing di air keruh ketika dengan jumawa mengumumkan transfer Gotze, hanya beberapa minggu jelang clash kedua klub di laga final. Jika Chairil Anwar menganalogikan nasib sebagai kesunyian milik masing-masing, saya bayangkan kesunyian yang diterima Dortmund musim lalu tentulah sebenar-benarnya keheningan yang absolut.

Akan tetapi perpisahan ataupun kekalahan seringkali tak melulu tentang akhir yang getir, ataupun ujung jalan yang rawan. Kadang-kadang perpisahan, juga kekalahan, kerap melahirkan a better beginning for deserved ending. Kepergian Gotze, kekalahan yang menyakitkan dari Muenchen musim lalu, boleh jadi memang meninggalkan codet yang perih di jidat segenap punggawa Die Borussen. Tetapi mereka paham betul, bahwasanya hak prerogatif untuk menolak beranjak dari masa lalu hanyalah milik The Script semata. Kegagalan, sepahit apapun itu, haruslah dilupakan selekas-lekasnya, juga secepat-cepatnya.

Maka hukum kekekalan sepakbola kembali berbicara di sini: ada yang pergi, pasti akan ada yang menggantikan. Tiga nama baru merapat ke Signal Iduna Park, menggantikan Gotze, dan juga Moritz Leitner serta Felipe Santana yang hengkang ke klub lain. Henrikh Mkhitaryan, Pierre-Emerick Aubameyang dan Sokratis Papastathopoulos adalah nama-nama yang dipilih Juergen Klopp untuk memperkuat skuatnya musim ini.

Nama pertama—Mkhitaryan—adalah orang yang didaulat Klopp untuk mengisi poros kreatif penyerangan yang ditinggalkan Gotze. Kemampuan umpan dan visi permainannya akan menjadi pendulum yang krusial menentukan kemana arah permainan Dortmund bakal bermuara. Catatan golnya bersama Shakhtar Donetsk musim lalu, yang mencapai angka 29, juga bakal membikin dirinya jadi salah satu pendulang gol yang bisa diandalkan oleh publik Westfallen.

Sementara dua nama lain, Aubameyang dan Sokratis, adalah jawaban untuk mengisi kedalaman skuat Dortmund yang musim lalu nampak setipis pembalut wanita. Terkhusus untuk Aubameyang, tipikalnya yang cepat dan ulet bakal sangat berguna bagi serangan balik "blitzkrieg" terapan Klopp. Ia juga bisa menjadi pelapis yang sepadan bagi Robert Lewandowski kala striker Polandia itu harus absen. Reputasinya sebagai penggedor gawang yang prominen telah terkulminasi lewat raihan podium kedua top skor Ligue 1 musim lalu. Kelak, jika Lewandowski jadi hengkang—mengikuti jejak Gotze—jelas kita semua tahu siapa orang yang akan didapuk Klopp sebagai deputinya.

Dan Juergen Klopp, well, is just being Klopp. Hasil manuvernya di bursa transfer selalu berhasil guna dan tak pernah mengecewakan. Kehilangan Mario Gotze sama sekali tak membikin Dortmund tumpul, pincang, atau apapun yang bersinonim dengan hal tersebut. Mkhitaryan berhasil menambal dengan sempurna ceruk besar yang ditinggal Gotze. Sementara Aubameyang, selepas mencatat hattrick di debutnya yang fenomenal, secara konstan terus menebar ancaman dari lini serang Dortmund saban kali dimainkan.

Dortmund memang masih berada di sana, di tempat yang sama dengan kualitas mereka musim-musim sebelumnya, sekalipun ditinggal pemain sekaliber Mario Gotze. Di kompetisi Bundesliga, Dortmund masih saling sikut dengan Bayern memperebutkan posisi top of the table. Sementara di kompetisi Liga Champions, Die Schwarzgelben masih jumawa memegang tampuk hegemoni Grup F—yang dibaptis sebagai grup neraka—dengan raihan sembilan poin. Terakhir, mereka menumbangkan the in form Arsenal di kandangnya sendiri dengan skor 1-2. Jelas sekali tidak ada imbas atas kepergian Gotze yang tergambar di sana, barang satu zarah sekalipun.

Pada akhirnya, Mario Gotze mungkin memang pernah menjadi dearest dear bagi sebagian besar fans Borussia Dortmund di seluruh dunia. Akan tetapi keputusannya menyeberang ke pelukan musuh saat Dortmund mulai menaruh harapan besar di pundaknya, membuat dirinya nampak seperti Judas yang kepalang kurang ajar. Dengan performa Dortmund yang masih baik-baik saja —kalau tak boleh dibilang impresif— sampai dengan saat ini, kepergian Gotze jelas bukanlah sebuah kisah sedih yang kudu dirayakan dengan senandung kidung-kidung sendu. Sebaliknya, kepergian Gotze mungkin malah lebih layak dikenang sebagai kisah usang dari seorang mantan kekasih yang mudah dilupakan.

Ah, terlalu mudah malah.

Senin, 14 Oktober 2013

Selepas Hujan, di Bawah Langit Senayan


Bagaimana rasanya kembali duduk di tribun Gelora Bung Karno, setelah sekian lama absen, cuma untuk menyaksikan perkara giant killing yang dilakukan timnas sepakbola kita terhadap tim dengan reputasi sebesar Korea Selatan? Tentu saja menyenangkan. Sangat menyenangkan malah. Bahkan walau untuk level timnas yang "hanya" sekelas U19.

Saya sungguh beruntung tengah berada di ibukota pada saat timnas U19, yang melejit sejak sebulan kebelakang, sedang melangsungkan pertandingan kualifikasi menuju Piala Asia U19 tahun depan di Myanmar. Keberuntungan yang semakin terasa menyenangkan karena selain saya akhirnya bisa menyaksikan bandwagon milik anak asuh coach Indra Sjafri secara langsung, mereka juga berhasil meraih kemenangan dan berhak lolos ke putaran final.

Sebuah kemenangan besar, tentu saja. Karena lawan yang dihadapi adalah Korea Selatan, tim dengan kaliber Asia, yang bahkan sudah mulai masuk peta kekuatan sepakbola dunia. Walaupun, sekali lagi, ini diraih hanya dalam level U19.

Dari tribun yang sedikit basah karena tertiup hujan yang turun cukup lebat sejak senja meredup, saya menyaksikan pertandingan kemarin malam bersama adik saya yang antusias—ini pengalaman pertamanya menonton pertandingan di stadion.

Hujan yang kian deras jelang kickoff, membikin beberapa orang yang tadinya duduk di kursi dekat pagar pembatas berlarian naik ke atas. Dan boleh jadi, hujan memang tengah mengukir suasana puitiknya sendiri dalam kemenangan timnas kemarin malam.


Dua puluh lima menit pertama, hujan bertanggung jawab membikin stadion yang konon paling megah di kolong langit negeri ini, tampak seperti petak-petak sawah yang siap panen. Ini menjadi sedikit ironis karena untuk stadion sekelas Gelora Bung Karno pun, sistem drainasenya ternyata masih tergolong di bawah standar. Beberapa titik di lapangan mulai tergenang air dan aliran bola yang coba digulirkan kedua tim kerap kali tersendat karenanya. Kedua tim yang sama-sama fasih bermain dengan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki terlihat sedikit gamang kala bola yang coba mereka kirim gagal mencapai titik tuju yang mereka mau gara-gara dihambat air.

Indonesia bereaksi cepat dalam situasi ini dengan mengganti pola bola pendek menjadi umpan lambung vertikal langsung ke wilayah final third. Ilham Udin yang lepas dari perangkap offside, berhasil mengirim umpan tarik yang tak bisa diintersep center back Korsel walau telah susah payah melakukan split dance ala personil boyband karbitan. Hujan sorak sorai lantas berhamburan saat Evan Dimas menghajar bola tersebut ke sudut tiang dekat. Sebuah momen orgasmik bergemuruh cukup lama di setiap sudut stadion.

Lima menit berselang, ganti hujan lemparan botol yang menghambur di lapangan. Penyebabnya adalah gol penalti Korea Selatan yang dicetak oleh Seol Tsaemu. Usai menaklukan Ravi Murdianto dari titik 12 pas, alih-alih melakukan selebrasi "annyeong haseyo!", Seol malah melakukan gestur provokatif ke tribun barat laut yang memancing teriakan "anying lah sia!" dari para penonton. Andai tidak ada jurang pemisah antara bangku penonton dengan lapangan, saya yakin penonton tak akan segan-segan memugar bedak yang konon luntur di wajah para pemain Korsel dengan botol-botol air mineral.

Setelah gol tersebut kondisi lapangan jadi semakin memprihatinkan, seperti jargon milik presiden kita. Pertandingan dihentikan sekitar setengah jam, menunggu supaya hujan sedikit mereda. Beberapa groundsman kemudian tampak bekerja keras meminmalisir genangan yang membanjir di lapangan dengan pitchfork. Sementara beberapa ofisial AFC mengabadikan lapangan yang tergenang air dengan kameranya. Untuk bahan laporan ke atasan mereka, mungkin.


Pertandingan dimulai kembali setelah hujan berhenti dan genangan di lapangan sedikit berkurang. Hujan yang berhenti mengguyur serta kondisi lapangan yang membaik jadi titik balik bagi Evan Dimas dkk. Seperti pelangi yang baru muncul setelah hujan reda, anak-anak U19 bermain lebih rapi dan terpola di babak kedua.

Menit ke-48, Evan Dimas kembali mengoyak jala Korsel memanfaatkan umpan tarik Maldini Pali yang mengobrak-abrik flank kiri Korsel sebelum mengirim umpan tarik. Penonton kembali kesetanan menyambut gol tersebut. Tentu saja. Siapa pula yang tidak girang kalau kita bisa kembali bikin gol ke gawang tim sekelas Korsel?


Ada pemandangan menarik dalam kemenangan yang diraih Ravi Murdianto cs kemarin malam. Kemenangan kemarin, bukanlah kemenangan buah hasil keberuntungan atau nasib mujur belaka. Ada kejelian penerapan strategi oleh pelatih, serta determinasi dan kedisiplinan pemain dalam menerjemahkan instruksi pelatih yang tergambar jelas di sana. Sebuah hal yang sejujurnya sangat tidak "Indonesia banget".

Tiga gol yang dicetak Indonesia tercipta dari skema yang nyaris serupa. Evan Dimas, yang sepanjang pertandingan tampil setenang biksu Tibet, dengan jeli memanfaatkan ruang kosong yang terselip di antara kuartet backfour Korsel dan dua gelandang bertahan mereka untuk mendapat ruang tembak. Ruang ini tercipta berkat pergerakan tiga pemain depan —Ilham Udin, Maldini Pali dan Mukhlis Hadi— yang berhasil meng-escort defense line Korsel supaya turun terlalu dalam ke kotak penalti mereka. Di sisi lain, dua poros ganda Korsel, Hwang Hee Chan dan Choi Ja Heun, terkonsentrasi di posnya masing-masing karena distraksi yang diberikan Zulfiandi dan Hargianto.

Di sinilah kejeniusan coach Indra Sjafri dalam memainkan strategi kembali terlihat. Sadar lawan punya keunggulan postur, Indra menginstruksikan winger-nya untuk mengirim umpan cutback, alih-alih melepas crossing sekenanya seperti kebiasaan strategi timnas pada umumnya. Saya mencatat ada setidaknya lima kali drill cutback yang dikirim dari sisi sayap. Dan semuanya membahayakan gawang Korsel. Makanya, saat Evan Dimas mencetak gol ketiganya, kita semua tahu kalau mitos tai kucing "Kita kalah postur" adalah sebenar-benarnya alibi atas kekalahan timnas yang sudah selayaknya dimusiumkan saja.

Pertandingan kemarin malam adalah salah satu pertandingan yang tidak akan pernah saya lupakan. Ada adrenalin yang meluap, endorfin yang masih dalam batas kewajaran, juga sedikit rasa tidak percaya saat menyaksikan papan skor yang menggantung di tribun belakang gawang. Walau ini hanya level U19, tengkuk saya merinding hebat jika mengingat momen dimana Evan Dimas mencetak gol ketiganya, juga saat wasit akhirnya meniup peluit panjang yang mengakhiri pertandingan. Mungkin karena sudah terlalu lama dicekoki prestasi timnas yang bapuk bukan buatan, kemenangan anak-anak U19 dua malam yang lalu sudah terasa menyenangkan betul.

Entah berapa kali saya menengadahkan kepala ke atas malam itu. Dua mata saya menerawang, menyaksikan langit Jakarta yang untuk kesekian kalinya masih kosong tanpa bintang, untuk kemudian sadar kalau kejadian yang ada di depan mata saya kemarin malam bukanlah halusinasi yang muncul akibat menenggak jamur kancing banyak-banyak. Kemarin malam, boleh jadi memang tidak ada bintang ataupun pelangi yang melengkung di langit Senayan selepas hujan deras yang mengguyur sejak senja turun. Akan tetapi melihat papan skor yang menunjukkan angka 3-2 untuk kemenangan Indonesia terasa lebih indah daripada melihat pelangi atau bintang apapun yang kini mulai jarang muncul di langit Jakarta.

Terima kasih, coach Indra Sjafri!