Harry Redknapp, manajer gempal berusia 64 tahun atau yang lebih dikenal sebagai "Houdini dari London Utara", sepertinya sedang mendapati periode keemasannya bersama Tottenham Hotspurs musim ini. Sempat mengawali musim dengan dua kekalahan telak dari duo Manchester, Spurs, perlahan-lahan dibawa Redknapp merangkak naik ke papan atas klasemen, sebelum akhirnya mengakhiri tahun 2011 dengan bercokol di peringkat ketiga klasemen sementara English Premier League. Sebuah pencapaian terbaik Spurs di masa kepelatihannya.
Emmanuel
Adebayor dan Jermaine Defoe boleh saja mencetak gol-gol kemenangan
Spurs lewat gaya yang spektakuler. Gareth Bale dan Aaron Lennon mungkin
bisa berlari dengan kecepatan bak mobil ferrari untuk menusuk ke
pertahanan lawan. Sementara itu, Luka Modric dan Rafael Van Der Vaart
boleh jadi adalah duo gifted midfielder dengan kemampuan passing serta visi permainan di atas rata-rata, tapi semua elemen tadi baru lengkap dengan kehadiran Scott Parker pada musim ini.
Hadirnya Parker, menjadikan lini tengah Spurs semakin lengkap dan menahbiskan
Spurs sebagai salah satu pemilik barisan lini tengah terbaik di EPL
musim ini. Bahkan, jauh lebih kuat dibanding lini tengah Manchester
United maupun seteru utama mereka, Arsenal. Ironisnya banyak yang tak
menyadari bahwa Parker lah sosok dibalik briliannya performa Spurs musim
ini, tentu tanpa menepikan kontribusi dari pemain-pemain lain.
Parker
mungkin tak sehebat Xavi Hernandez, Andrea Pirlo ataupun Michael
Carrick dalam hal distribusi bola dari tengah ke depan. Ia juga bukan
tipikal petarung yang gemar menghujani lawan dengan tackle-tackle kasar dalam perebutan bola seperti Michael Essien dan Nigel De Jong. Begitu juga soal kecepatan, dribble dan kemampuan melepas long shot,
ia tak dikaruniai kehebatan tadi seperti halnya Steven Gerrard dan
Frank Lampard. Jadi apa sebenarnya yang membuat Parker, mantan kapten
West Ham United yang gagal menyelamatkan timnya dari jeratan degradasi
musim lalu itu, menjadi sosok instrumental di lini tengah The Lilywhites musim ini?
Jawabannya
adalah stamina dan determinasi, dua faktor yang menutupi kelemahan
teknik Parker sehingga malah membuatnya seolah-olah memiliki seluruh
kemampuan dari pemain-pemain yang saya sebutkan tadi, meski tidak
sebagus mereka. Parker juga adalah salah satu gelandang dengan daya
jelajah paling luas di EPL. Ia bisa berada di belakang menjadi De Jong
untuk melakukan tekel, memberikan pressing dan melakukan intercept
ketika lawan membangun serangan. Ia juga berperan sebagai Carrick
dengan mengalirkan distribusi bola ke depan, dalam kasus ini kepada duo
Modric-VdV, atau juga sesekali menjadi Lampard dengan merangsek naik
memberikan opsi lain bagi rekan-rekannya di mulut gawang. Yap, Parker
adalah all-rounder-midfielder.
Strategi
Redknapp yang doyan mengoptimalkan dua gelandang flamboyan, yakni Rafa
Van Der Vaart dan Luka Modric sebagai pemantik serangan Spurs, memang
membuat lini tengah mereka beringas ketika melakukan serangan, apalagi
ditunjang duo sayap pelari kencang semodel Gareth Bale dan Aaron Lennon,
tetapi di saat bersamaan juga membuka lubang menganga di posisi the hole antara lingkaran tengah dengan kuartet backfour mereka akibat ketiadaan seorang stabilisator yang mumpuni.
Wilson
Palacios yang musim lalu kerap mengisi posisi ini, lebih sering hilang
arah di lapangan dengan berlari kesana kemari, seperti orang kebingungan
alih-alih merusak serangan lawan. Sementara Sandro Raniere, bocah
Brasil yang diharapkan jadi juru selamat "ruang mesin" Spurs, lebih
kerap wara-wiri di ruang pemulihan cedera tinimbang berjibaku di
lapangan. Jadilah musim lalu, Modric ditumbalkan untuk mengisi
kelowongan posisi ini. Hasilnya tidak buruk memang, tapi tetap kurang
maksimal.
Menyadari
hal tersebut, awal musim ini, Redknapp mendatangkan Parker dengan
banderol yang "cuma" 6 Juta Pounds. Jumlah yang terbilang murah untuk
pemain sekelas Parker. Padahal musim lalu, Parker terpilih menjadi
Pemain Terbaik Liga Inggris versi FWA, asosiasi penulis sepakbola di
Inggris.
Bandingkan
dengan transfer Raul Meireles dari Liverpool ke Chelsea yang bernilai
hingga 12 Juta Pounds, atau bahkan transfer mahal Samir Nasri dari tim non-glory-hunter
ke klub penghambur uang, Manchester City, yang konon menghabiskan dana
sampai 22 Juta Pounds. Nilai transfernya yang tidak bombastis, plus
kepindahannya yang tidak banyak diselingi drama dan kehebohan, sedikit
banyak mencerminkan betapa underrated-nya seorang Parker.
Padahal
soal kontribusi Parker di lapangan, statistik ciamik yang dibuatnya
menjawab semuanya. Catatan passingnya sampai dengan paruh musim ini
sudah melampaui angka seribu, dengan rasio passing accuracy mencapai angka 89%. Ia juga sudah mencetak satu assist. Sementara itu, persentase kesuksesan ground duels-nya stabil di kisaran 55%. Parker juga membukukan 67 tackles dengan 70% diantaranya berakhir sukses, terbaik kelima di antara pemain-pemain EPL lainnya. Influence Parker di lapangan juga diakui dengan terpilihnya dia sebagai Tottenham Fans' Player of The Month selama 3 bulan berturut-turut sejak September hingga November lalu. Kehebatannya semakin sahih ketika dibaptis sebagai EPL Player of The Month bulan November.
Toh
segenap catatan di atas tak membuat popularitas Parker menanjak, ia
dinilai masih kalah kelas dengan midfielder-midfielder EPL lainnya.
Parker tetap underrated. Ia sepertinya bernasib sama dengan Sergio Busquets, sosok gelandang tengah underrated
lainnya, di Barcelona. Seperti Parker, Busquets juga tenggelam di bawah
bayang-bayang Lionel Messi, Xavi Hernandez, dan Cesc Fabregas, meskipun
ketiga pemain tadi juga mengakui, betapa instrumentalnya seorang
Busquets di lini tengah tim Catalan.
Mungkin
nanti, di akhir musim, ketika Spurs merayakan kejayaannya dengan lolos
ke Liga Champions (seperti dua musim silam) dengan menempati peringkat
ketiga (atau mungkin juga peringkat kedua, dan bukan tidak mungkin juga
menjadi juara EPL) Parker tidak lagi dikenal sebagai that-underrated-midfielder. Dia akan lebih dikenal sebagai that-boss-of-the-central park. Kita tunggu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar