Pramoedya Ananta Toer, maestro sastra Indonesia, pernah menyerukan dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia, bahwa manusia yang terpelajar sudah selayaknya berlaku adil sejak dalam pikiran dan juga dalam perbuatan, kepada siapapun, tanpa terkecuali. Mengikuti perbuatan umum yang sudah lama salah kaprah, ataupun menjustifikasi manusia lain secara bias berdasarkan faktor-faktor yang tak materiil dengan pokok permasalahan adalah perbuatan yang tak mencerminkan hal tersebut. Sebab yang baik harus tetap dinilai baik, dan yang salah harus tetap dikatakan salah.
Tapi
pada kenyataannya tidak demikian. Tapi kenyataannya kebanyakan manusia
memang suka begitu, tak peduli dia terpelajar atau tidak. Ambil contoh
saja bagaimana PSSI menyikapi kasus penganiayaan yang menjerat salah
satu punggawa timnas, Diego Michiels. Sesaat setelah jongeren
yang dinaturalisasi dari Belanda untuk membela tim nasional itu
dinyatakan sebagai tersangka, PSSI malah membikin langkah komedi dengan
cuma memberikan denda sebesar Rp 500.000,00 tanpa hukuman skorsing
apapun kepadanya. Entah atas tendensi apa PSSI melakukan hal tersebut,
tapi yang jelas, sanksi yang diberikan kepada Diego itu jelas tidak
mencermikan perilaku adil sejak dalam pikiran seperti yang dimaksud
Pram.
Sebagai
perbandingan saja, Titus Bonai, yang beberapa waktu lalu juga berlaku
indisipliner, langsung dikenai sanksi berupa pencoretan dari timnas
tanpa ba-bi-bu. Padahal, kalau ditilik dari segi etika dan moral,
pelanggaran yang dilakukan Tibo tak seberat Diego yang kabur dari
larangan jam malam cuma untuk dugem dan beradu jotos dengan sesama
pengunjung klub malam.
Dilihat
dari sudut manapun, dengan alasan apa pun, apa yang dilakukan Diego
adalah perbuatan yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya buat timnas.
Apalagi dengan suasana timnas yang sedang tak kondusif dengan segala
macam silang sengkarut yang menderanya. Apa yang dilakukan Diego hanya
semakin memperkeruh keadaan timnas yang sudah tak keruan dan semakin
menipiskan simpati dari masyarakat untuk timnas. Sudah sewajarnya kalau
Diego kemudian diberikan hukuman yang setimpal, dengan dicoret dari
timnas, misalnya.
Mungkin
PSSI khawatir apabila Diego dicoret dari skuad, keharmonisan tim yang
sudah mulai terjalin akan terganggu, padahal hanya dalam dua minggu lagi
Piala AFF akan bergulir. Kalau memang demikian alasannya, PSSI
tampaknya tak sadar kalau mereka sedang menanam bom waktu yang
sewaktu-waktu dapat meledak. Membiarkan Diego tetap berkeliaran dalam
pemusatan latihan timnas, sama saja dengan mendoktrin pemain-pemain lain
bahwa melanggar larangan keluar malam adalah hal yang sepele. Sebab
kalaupun ketahuan, dendanya tak sampai jutaan, tak terlalu besar lah
buat ukuran pemain kelas timnas.
Bisa
jadi PSSI beralibi dengan keterbatasan pemain berkualitas yang bisa
dipanggil untuk memperkuat timnas akibat adanya dualisme kompetisi.
Dengan dicoretnya Diego, PSSI mungkin khawatir kalau kekuatan timnas
akan jadi timpang dan kurang taji. Seharusnya PSSI ingat, kalau timnas
adalah lebih besar ketimbang seorang individu. Mencoret satu pemain
indisipliner dan mempertahankan pemain lain ,yang walaupun berkualitas
semenjana namun mau berkomitmen penuh untuk tim, jauh lebih baik
ketimbang memiliki sepuluh pemain berkualitas top di dalam tim namun
suka berbuat onar dan melanggar peraturan.
Tak
perlu jauh-jauh mencari contoh ke timnas mancanegara yang tak pandang
bulu dalam memberi sanksi terhadap pemainnya yang gemar melanggar
peraturan, dari kancah sepakbola lokal pun kita punya kiblat untuk
dijadikan contoh. Ivan Kolev misalnya, pernah menepikan Zaenal
Arif menjelang partai hidup mati timnas di penyisihan grup Piala Asia
tahun 2007 melawan Korea Selatan karena Arif kedapatan kabur melanggar
larangan jam malam, untuk menemui keluarganya. Tahun 2004 Kolev juga
pernah mencoret Isnan Ali, Kurniawan dan Mukti Ali Raja, melulu karena
alasan indisipliner.
Yang paling fenomenal tentu saja adalah Anatoli Polosin
yang dengan tangan dingin memarkir pemain-pemain bintang timnas seperti
Ricky Yakobi, Fachry Husaini dan Ansyari Lubis akibat ulah
indisiplinernya menjelang SEA GAMES tahun 1991. Hasilnya luar biasa,
timnas yang berbekal punggawa-punggawa muda justru tampil trengginas dan
keluar sebagai juara. Jadi, saya pikir, tidak ada alasan lain bagi PSSI
untuk tidak mencoret Diego, yang kini tengah terancam hukuman bui
selama lima tahun, dari skuad timnas yang tengah menjalani pemusatan
latihan.
Siapa
tahu dengan keluarnya Diego, pemain-pemain lain yang merupakan deputi
dari Diego di posisi bek kiri, bisa menunjukkan sinarnya yang selama ini
tersembunyi oleh bayang-bayang Diego. Kita pun jadi punya alternatif
baru untuk posisi bek kiri. Ya, siapa tahu.
Jadi,
dengan segala hal yang saya tulis diatas, jikalau pada akhirnya hingga
Piala AFF bergulir pada 24 November mendatang, kita masih bisa menjumpai
nama Diego Michiels dalam daftar 23 pemain yang dibawa coach Nil
Maizar untuk mengarungi perjuangan merebut piala AFF di Malaysia sana,
bolehkah kalau kita menyebut pengurus-pengurus PSSI yang terhormat itu
sebagai sosok yang tak terpelajar? Barangkali iya, barangkali memang
begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar